Chapter Thirteen

2.5K 360 158
                                    

Warning!!!

Chapter ini mengandung kadar sweet yang agak lebih tinggi dari biasanya. Selamat membaca 😚😚😚



“Only love of a good woman will make a man question every choice, every action. Only love makes a warrior hesitate for fear that his lady will find him cruel. Only love makes a man both the best he will ever be, and the weakest. Sometimes all in the same moment.”
—Laurell K. Hamilton—

Malam yang sepi segera terisi oleh pekik tercekik perempuan yang berbaring di atas sofa. Rose membelalak—masih dibayangi mimpi buruk yang membuat air matanya ikut jatuh seketika. Otot matanya melemas saat suara Jaehyun yang tenang memanggil namanya. Ia duduk di atas karpet yang agak tipis, tubuhnya terarah pada Rose, sementara tangannya mengusap kening perempuan itu dengan hati-hati. Kekalutan yang semula menusuk-nusuk mulai memudar, bergantikan ketenangan yang selalu hadir tiap kali Jaehyun berada di sisinya.

“Tidak apa-apa, kau sudah bangun. Semuanya akan baik-baik saja,” Jaehyun berbicara dengan suara rendah. Matanya beradu tatap dengan Rose, menemukan titik-titik ketakutan yang tampak menyiksa. Kedua tangannya kini menggenggam tangan Rose—mencium tangan dingin perempuan itu dengan lembut.

Rose mulai terisak saat memandangi wajah Jaehyun. Tubuhnya sedikit bergeser untuk memberikan pelukan pada pria itu. “Sayangku Jaehyun, syukurlah kau masih ada di sini,” desis Rose yang mulai terisak pelan. “Kukira kau pergi. Jangan pergi, jangan tinggalkan aku. Aku sangat mencintaimu, Jaehyun.”

“Sejak tiga jam yang lalu aku tetap duduk di sini. Aku hanya pergi untuk mengambil minum ke dapur.” Jaehyun terdengar kebingungan. Tangannya menepuk-nepuk punggung Rose, berusaha menenangkannya sebaik yang ia bisa. “Apapun isinya, itu akan selalu jadi mimpi buruk yang tidak akan pernah terjadi. Tidak usah khawatir, aku ada di sampingmu.”

“Aku hanya takut kau pergi,” kata Rose, ekspresinya menorehkan kecemasan sekaligus kesedihan yang bercampur aduk.

Jaehyun menangkap semua kecemasan yang berkumpul dalam benak Rose. Dengan spontan tangannya kembali bergerak untuk menghapus air mata dan membelai pipi Rose selama beberapa saat. Air mukanya menunjukkan kepedulian yang tidak lagi berusaha ia tutup-tutupi. Ini hal yang normal bagi sepasang kekasih, tegas Jaehyun berulang kali.

Kemampuan komunikasinya yang buruk selalu berusaha ia tutupi dengan sikapnya yang sangat baik dan penuh perhatian. Lagipula, bagi Jaehyun, cinta tak selalu harus dijelaskan melalui kata-kata. Selalu ada saat ketika tindakan mampu berbicara lebih keras dibandingkan untaian kata yang terucap melalui bibir yang manis. Ia sangat setuju dengan Rudyard Kipling yang mengatakan jika kata merupakan narkoba paling kuat yang pernah digunakan umat manusia. Kata tidak berwujud, tapi memiliki kekuatan untuk membangun dan menghancurkan.

“Kau mau menceritakan mimpimu padaku?” Jaehyun menawarkan—hanya untuk mendapat sebuah penolakan dari Rose.

“Itu hal yang tidak penting. Seperti katamu, sekarang aku sudah bangun, aku baik-baik saja, sayangku.” Jawaban itu dihiasi sebaris senyum lemah di wajah pucatnya. Rose tidak akan pernah bilang jika di dalam mimpinya ia melihat Jaehyun menikah dengan perempuan lain yang punya wajah seperti blobfish.

Jaehyun tidak menuntut keterangan lebih lanjut. Ia selalu menghargai ruang privasi yang Rose ciptakan. Alih-alih mengorek informasi tentang mimpi buruk yang mengganggu, Jaehyun lebih memilih mengecek keadaan Rose—kekasihnya kelihatan lebih pucat daripada sebelumnya. “Perutmu masih sakit? Kramnya masih belum reda? Apa tubuhmu masih terasa dingin?”

Winter Spring ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang