Aloha, kayaknya aku nongkrong di sini hampir tiap malam deh. Hmmm
Well I wish it doesn't bother you because I have a chapter that I must publish this night. Tolong vote dan comment yaa. I lafyu~
❄
❄
❄“You only live once, but if you do it right, once is enough.”
—Mae West—Jarum jam sudah menunjuk angka empat lewat lima, Jaehyun menyelesaikan tugasnya tanpa kendala. Ia sedang mengemas beberapa barang di dalam loker saat suara seorang gadis membuatnya terkesiap. Pandangannya spontan tertuju ke samping, mendapati Yeri sedang duduk di atas kursi roda sambil mengamatinya dengan tatapan dalam.
Terhitung sudah tiga minggu sejak percakapan pertamanya dengan Yeri di ruang tunggu Departemen Gawat Darurat. Gadis ini selalu mendatanginya, selalu tiba-tiba muncul seperti hantu. Bahkan Jaehyun mulai terbiasa—ia tidak akan secara jelas menjauhi Yeri karena perasaan tak tega yang menggema. Selama dia tidak mengganggu dan menyentuhnya, maka semuanya baik-baik saja. Selain itu, Jaehyun juga tidak merasa perlu menjauhi Yeri karena gadis itu sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan seksual yang sangat mungkin membuat Rose cemburu. Yeri hanya suka melihat wajahnya—menurutnya Jaehyun punya wajah tampan sempurna—dan dia hanya butuh teman bicara.
Dirawat di Rumah Sakit untuk waktu yang lama tentu akan membuat rasa bosan terus-terusan mendera. Apalagi anak seumuran Yeri cenderung mudah bosan dan frustasi. Ia juga sangat tahu penyakit yang dideritanya. Sehingga saat mereka bertemu, Jaehyun selalu bisa menangkap getar ketakutan yang berusaha gadis itu redam tiap kali bibirnya tak sengaja mengucapkan ‘aku’ dan ‘kanker’ dalam satu baris kalimat yang sama.
Meskipun banyak orang mengatakan jika kematian merupakan bagian dari kehidupan, tapi tidak ada satupun yang bisa menjelaskan seperti apa situasi di baliknya. Mereka yang hidup tidak bisa menyentuh yang mati; begitupula yang mati tidak bisa menyentuh yang hidup. Kematian memiliki lebih banyak misteri dibanding kehidupan. Bayangan tentangnya selalu ditempeli embel-embel gelap dan menakutkan. Tidak ada yang tahu—tidak ada yang bisa menceritakan. Sangat wajar jika Yeri merasa ketakutan.
“Kau tidak boleh ada di sini,” cetus Jaehyun yang secara spontan menarik kursi roda Yeri yang terasa ringan ke luar. Ia berniat mengajaknya jalan-jalan memutari Rumah Sakit sembari menunggu Rose—perempuan itu mengatakan jika ia ingin menjemput Jaehyun hari ini.
“Wajahmu kelihatan lebih berseri hari ini,” kata Yeri tiba-tiba. Kedua tangannya diletakkan di atas paha, pandangannya yang sayu terarah ke luar, menembus dinding kaca yang menjadi pembatas antara dirinya dan dunia luar.
“Aku akan bertemu dengan pacarku,” sahut Jaehyun singkat.
“Apa yang istimewa? Kau hanya akan bertemu dengan orang yang selalu kau lihat setiap saat,” kata Yeri lebih mirip sebuah olokan yang sinis.
“Sangat istimewa karena aku tidak bertemu dengannya selama lima hari terakhir. Aku merindukannya.” Jaehyun memberikan jawaban yang tidak terduga. Bahkan Yeri sampai melongok ke belakang, memastikan jika yang memberikan jawaban barusan memang Jung Jaehyun yang terkenal cuek dan sulit didekati.
“Pacarmu cantik?” tanya Yeri, kali ini lumayan penasaran.
“Dia sangat cantik,” lagi-lagi Jaehyun memberikan jawaban terang-terangan yang membuat Yeri bergidik ngeri.
“Siapa yang lebih cantik, aku atau pacarmu?” Yeri kembali mengajukan pertanyaan, suaranya dipenuhi nada tak sabaran yang penuh pengharapan.
Jaehyun meliriknya sekilas. Senyumnya tergores samar saat ia mengatakan, “Dia benar-benar sangat cantik. Selain adikku, aku tidak pernah bertemu lagi perempuan secantik pacarku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Winter Spring ✔
Fiksi Penggemar[COMPLETED] He was the coldest winter who met his warmest spring. She was the most bitter spring who met her sweetest winter. The world knows that spring will never come beautifully without winter. Because winter and spring bond to each other, are...