Chapter Sixty

1.2K 139 38
                                    

Aloha, gimana hari kalian nih? Semoga menyenangkan ya. Hehehe

Ada dua chapter lagi sampe tamat. Please be with us till the end yaaa. Selamat membaca ^^



“We can know only that we know nothing. And that is the highest degree of human wisdom.”
—Leo Tolstoy—

Napas Minjeong seolah dibekukan oleh waktu saat kedua matanya menangkap sosok pria tinggi dengan kulit kecokelatan tengah berdiri di hadapannya. Gadis itu masih duduk dengan punggung tegak, mendadak sangat kaku saat Jongin dengan leluasa mendudukan diri di kursi seberang. Hiruk-pikuk kafe yang biasa dikunjunginya dengan Jake seolah diubah ke dalam mode senyap, membuat Minjeong tak bisa mendengar suara apapun termasuk deru napasnya sendiri. Jadi ini yang kakaknya maksud sebagai tugas yang paling berat: bertemu dengan Kim Jongin untuk apapun itu alasannya. Minjeong terhenyak—kembali merasakan jantungnya berdegup dengan cepat.

“Kau bertumbuh dengan sangat baik, bocah kecil.” Jongin bicara dengan cara kasual yang membuat tenggorokan Minjeong tercekat. Bekas luka yang melintang di wajahnya tampak lebih dalam dan menakutkan; ditambah belas luka lain yang terlihat jelas di atas punggung tangan yang lebar.

“Tentu saja, itu karena aku hidup,” ucap Minjeong nyaris menyerupai bisikan.

Pikirannya masih melayang mengintari ruang masa lalu yang membuat air mukanya diwarnai kengerian: suara tembakan, pantai, dan bau bubuk mesiu yang bercampur dengan bau angin. Minjeong mengepalkan kedua tangan yang segera ia tarik ke bawah meja—menunduk dengan mata terpejam. Situasi ini membuatnya tersiksa, Minjeong ingin berdiri dan berlari keluar kafe, tapi itu hanya akan membuat traumanya menancap semakin dalam. Ia lelah hidup sebagai pecundang. Jika ia ingin memecahkan kotak besar yang membelenggunya, maka ini adalah saat yang tepat. Untuk itu ia mengatur napas, berusaha mengalihkan pikirannya ke objek lain.

Minjeong menggigit bibir bawahnya, mendorong setengah ketakutannya ke bawah permukaan. Suaranya bergetar saat mengatakan, “Kak Jaehyun memintaku menemuimu.”

“Dia pria yang menakutkan,” keluh Jongin tanpa beban. Sebelum kembali berbicara, terlebih dahulu dia membiarkan pelayan mengantarkan strawberry frappuccino pesanannya. “Hanya pria tanpa hati yang tega menyuruh adiknya sendiri untuk menemui pria yang hampir membunuhnya.”

“Kau hampir membunuh kakakku,” ralat Minjeong penuh penekanan.

Jongin mengedikkan bahu, “Dan dia tidak takut kepadaku.”

“Hentikan omong kosongmu dan beritahu aku apa yang kau inginkan dariku sekarang. Ah, kurasa aku harus mengembalikan benda ini,” katanya sambil merogoh sesuatu dari dalam saku. Minjeong menaruh pisau lipat pemberian Jongin ke atas meja, sebelum kembali menariknya dan menyimpannya kembali ke dalam saku. “Akan kukembalikan di luar. Kalau ada orang yang melihat, mereka bisa salah paham dan ketakutan.”

“Bukankah detektif punya izin untuk membawa senjata?” Jongin mengajukan pertanyaan retoris. Ia tertawa pelan saat melihat sorot mata Minjeong yang tajam; gadis ini tumbuh menjadi bunga beracun yang berbahaya. Ia menyandarkan punggung ke kursi, menyeruput strawberry frappuccino miliknya, bertingkah seolah semuanya baik-baik saja.

Sikap santainya membuat Minjeong kesal. Meskipun biasanya dia pandai mengatur emosi, tapi saat ini pikirannya mendadak meraih. Minjeong merasa jika dia bisa meledak kapan saja. Dia ingin menampar pria di hadapannya.

Winter Spring ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang