One of the longest chapter ever. So prepare yourself with snack if wanna finish it in one sitting. Hehehehe
Please leave some comments yaaa. Selamat membaca ^^
❄
❄
❄“Trust your instincts, and make judgements on what your heart tells you. The heart will not betray you.”
—David Gemmell—Keran air dimatikan. Jaemin memuntahkan lebih dari setengah minuman yang ditenggaknya tadi malam. Sekarang perutnya perih—begitu pula dengan pening di kepala yang tak bisa ia abaikan begitu saja. Ia duduk di atas lantai kamar mandi hotel yang kering, tangan kirinya mengurut kening, sementara tangan kanannya menekan perut yang terus menerus dihinggapi rasa mual. Untuk beberapa saat ia diam dalam posisi itu, meloloskan erangan kecil saat perih di perutnya tak kunjung hilang.
Dengan langkah lunglai Jaemin berjalan keluar dari kamar mandi. Tatapannya sontak tertuju pada perempuan muda yang masih terlelap di atas kasur berbalutkan selimut putih di tubuhnya. Ia melirik amplop serta paper bag putih di atas meja. Di situ tertulis ‘Untuk Jaemin’, sehingga tanpa ragu tangannya meraih paper bag tersebut dan mengeluarkan barang di dalamnya. Baju dan celana bermerek; klien tetap seperti ini memang sangat tahu apa yang paling disukai olehnya. Jaemin mengulas senyum kecut, kembali ke kamar mandi untuk mengganti baju, kemudian melenggang pergi tanpa meninggalkan pesan apapun. Pekerjaan tadi malam sudah selesai.
Matanya mengerjap saat sorot matahari langsung menerobos tanpa permisi. Salah satu tangannya terangkat untuk menghalau sinar matahari—membuat bias gelap saat ia mengecek jam di ponselnya. Pukul delapan pagi, artinya ia masih memiliki satu jam setengah sebelum diskusi kelompok dengan teman kelasnya dimulai. Ini gila; kenapa mereka harus menjadwalkan pertemuan pada Sabtu pagi yang cerah? Padahal matahari tak selalu muncul seperti ini, seharusnya mereka pergi piknik atau berlibur. Benar-benar kumpulan manusia ambisius menyebalkan. Jaemin tak akan pernah menyukai ritme kerja seperti itu.
Kakinya yang lelah mulai bergerak menyusuri trotoar yang lenggang. Selama tiga hari ini Jaemin terus memikirkan tawaran yang diberikan Rose. Ia belum memberitahukan hal itu pada siapapun; bahkan pada Jaehyun maupun Jeno yang selalu ia ajak bicara setiap saat. Itu bukan tawaran yang buruk—malah mungkin sangat baik. Ia tak akan mendapat bayaran setinggi yang diberikan klub tempatnya bekerja saat ini. Tapi sisi baiknya, ia bisa keluar dari lingkaran setan yang terus ditapakinya selama dua tahun terakhir. Jaemin tidak mempermasalahkan perkara moralitas yang tak ia pahami sepenuhnya; alasannya ingin berhenti murni karena ia merasa tak sanggup lagi menghabiskan berbotol-botol alkohol dalam satu malam tanpa merasa mual atau sakit keesokan paginya. Ia bahkan tak bisa menikmati alkohol sebagaimana mestinya—selalu merasa bosan atau muak karena lidahnya sudah mengecap berbagai rasa alkohol di luar keinginannya.
Jaemin melengguh pelan—menyimpan pikiran tentang hidupnya yang rumit selama sejenak. Tangan kirinya menjinjing paper bag berisi baju kotor, sementara tangan kanannya merogoh saku dan mengeluarkan rokok. Ia berniat melanggar peraturan lain di ruang publik. Tapi sebelum niatnya dapat terwujud, suara klakson dari belakang menyambar telinganya sangat keras sampai membuat pria itu terhenyak dan menjatuhkan rokoknya. Sontak ia berbalik, memasang ekspresi malas saat melihat Ryujin melongok dari balik jendela mobil.
“Merokok di ruang publik itu dilarang! Kau harus membayar denda!” pekik Ryujin—dia sangat bersemangat meski masih pagi.
“Di antara banyaknya manusia, lagi-lagi aku bertemu denganmu. Apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanya Jaemin setelah memungut rokok yang ia jatuhkan dan memasukannya kembali ke dalam kotak kertas di saku celananya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Winter Spring ✔
Fanfiction[COMPLETED] He was the coldest winter who met his warmest spring. She was the most bitter spring who met her sweetest winter. The world knows that spring will never come beautifully without winter. Because winter and spring bond to each other, are...