Halo, kangen banget aku sama kalian ☺☺☺
Chapter ini panjang, jadi aku publish sekarang aja supaya kalian bacanya nggak terlalu malem. Hohoho
❄
❄
❄“If you can love someone with your whole heart, even one person, then there’s salvation in life.”
—Haruki Murakami—Sekitar pukul sepuluh malam, ketika Rose turun ke bawah untuk ketiga kalinya, ia melihat Eunwoo tengah menggendong Minjeong ke dalam rumah. Dengan tergesa-gesa ia menghampiri mereka, hanya berdiri di dekat Jaehyun yang kelihatan agak murung. Dua pasang sahabat itu hanya bertukar pandangan selama beberapa saat, lalu tanpa sepatah katapun, Jaehyun melangkah ke arah kamar Minjeong dan membukakan pintu untuk Eunwoo. Keduanya baru bertukar kalimat setelah pintu kamar tertutup rapat—terlihat sangat akrab seperti biasa.
Dengan sigap Jaehyun segera pergi ke dapur, menyiapkan teh dan beberapa camilan untuk Eunwoo sambil memberikan beberapa pertanyaan kecil pada sahabatnya itu. Rose juga ikut membantu—mungkin lebih tepat jika dikatakan mengambil alih tugas Jaehyun dengan memintanya mengobrol di ruang tengah. Lagipula ia pandai membuat teh; sedikit lebih baik dibandingkan dengan Jaehyun dan semua orang di rumah ini.
“Apa Minjeong baik-baik saja?” tanya Rose sambil mendudukan diri di samping Jaehyun. Wajahnya tidak sepucat tadi sore.
“Dia hanya agak mabuk,” kata Eunwoo. Ia meneguk teh di cangkirnya, melempar pujian kecil kepada Rose, lalu menambahkan dengan suara yang terdengar lelah. “Minjeong baik-baik saja, dia hanya lelah karena pekerjaan di tempat magangnya tidak berjalan lancar.”
“Kurasa begitu, dia banyak mengeluhkan hal itu padaku.” Jaehyun menimpali.
“Atasannya benar-benar seperti setan,” tutur Eunwoo pelan. Bibirnya membentuk senyum, buru-buru mengalihkan obrolan ke topik lain. “Ngomong-omong, apa kau masih sering mual-mual?”
“Semakin parah,” Rose melengguh pelan, “mungkin karena masih sembilan minggu. Tapi bayi kami sangat sehat! Dokter bilang perkembangannya sangat bagus; pasti karena Jaehyun merawatku dengan sangat baik dan penuh cinta.”
“Jaehyun memang selalu bisa diandalkan,” puji Eunwoo spontan.
Rose menambahkan, “Dia tampan, pintar, punya banyak uang, penuh kasih sayang, dan sangat... ehem... Aku akan berhenti di sini.”
Bersama dengan Eunwoo, ia terus melempar pujian lain yang tidak terlalu digubris oleh Jaehyun. Alih-alih menanggapi, pria itu justru mengajukan pertanyaan yang membuat senyum Eunwoo berubah kikuk. “Kau menginap di sini, kan? Minjeong masih belum memindahkan barang-barangmu; dan saat ini juga sudah terlalu malam.”
“Ini masih pukul sembilan lebih dua puluh,” sahut Eunwoo disertai senyum kaku.
“Minjeong mungkin bangun dan menanyakanmu,” timpal Jaehyun tanpa perubahan emosi sedikitpun.
Rose yang duduk di samping Jaehyun hanya mengamati dua pria itu saling melempar kalimat—permintaan dan penolakan—selama beberapa menit sebelum bergegas ke kamar Minjeong saat mendengar bunyi bruk dari barang jatuh. Katanya dari dekat pintu, “Kalian mengobrol dulu saja. Tapi jangan terlalu keras, nanti Minjeong bangun. Aku mengecek keadaannya dulu; selain itu aku juga mau menggantikan bajunya. Dia pasti gerah dan merasa kurang nyaman.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Winter Spring ✔
Fanfiction[COMPLETED] He was the coldest winter who met his warmest spring. She was the most bitter spring who met her sweetest winter. The world knows that spring will never come beautifully without winter. Because winter and spring bond to each other, are...