Chapter Twenty Six

1.9K 273 145
                                    

Aloha, udah lama ya nggak update. Ehehehe

Berhubung udah lama, bisa lah ya ngasih vote dan komentar buat dukung cerita ini. Nggak akan ngasih intro yang panjang, you guys may miss our sweet couple so badly, jadi langsung aja baca. Semoga kalian suka ^^



“If I had a flower for every time I thought of you... I could walk through my garden forever.”
—Alfred Tennyson—

Jaehyun merapatkan jaket ke tubuhnya. Tanpa ada sedikitpun niat untuk bersandar ke tembok, ia tetap berdiri dengan kokoh di seberang restoran Cina tempatnya bekerja. Ia hanya tak mau terlalu terang-terangan memperlihatkan hubungan dengan Rose di depan rekan-rekannya. Tentu bukan karena ia tak merasa percaya diri apalagi merasa kalau kekasihnya tidak cukup layak untuk diperkenalkan, pria itu hanya merasa jika Rose terlalu sempurna sehingga rekan-rekannya sangat mungkin jatuh hati atau bahkan cemburu pada kisah cintanya. Merasa iri pada hidup orang lain merupakan salah satu perasaan yang paling menyiksa.

Malam ini angin berhembus lebih kencang, menusuk kulit hingga ke tulang. Itu hanya perumpamaan—udara pada minggu terakhir September memang lebih dingin dari minggu-minggu sebelumnya. Daun-daun juga mulai berguguran dan hujan mulai datang bergiliran. Beberapa kali Jaehyun pulang dalam keadaan basah kuyup karena melupakan payung yang sudah disiapkan Minjeong—adik perempuannya jadi semakin telaten dan cerewet—membuatnya terkena flu ringan yang masih bisa disembunyikan agar ketiga adiknya tidak khawatir. Jaehyun tidak perlu menutupi terlalu banyak hal dari Rose, perempuan itu selalu jadi yang pertama ia beri tahu ketika sakit atau saat harinya kurang menyenangkan. Rose juga selalu jadi orang pertama yang Jaehyun beri tahu tiap kali dirinya mendapat kabar baik—ia hanya ingin memastikan jika Rose tahu beberapa hal yang terjadi padanya tanpa membuat informasi itu terkesan seperti laporan kegiatan. Hubungan mereka tidak hanya diisi dengan rentetan tanya-jawab dan laporan.

Dan saat ini, Jaehyun dengan sabar menunggu Rose selesai fitting baju untuk pernikahan ibunya besok sore—tokonya lumayan jauh sehingga diperlukan beberapa menit untuk bisa sampai ke sini dengan rute biasa. Pria itu selalu menolak tiap kali Rose mengajaknya berbelanja. Satu-satunya penolakan yang konstan diberikan adalah karena Jaehyun merasa tak nyaman dengan barang-barang bermerek. Ia tidak terlalu suka belanja—berbanding terbalik dengan Rose yang menyukai retail therapy—sehingga menemaninya padahal ia sendiri tidak paham dan tidak menikmati kegiatan itu mungkin bisa jadi gangguan yang merusak momen bahagia Rose. Hanya karena mereka menjalin kasih, bukan berarti setiap kegiatan harus dilakukan bersama. Itu konyol. Baik dirinya maupun Rose sama-sama membutuhkan ruang pribadi yang kadang kala tidak bisa diseberangi oleh satu sama lain. Menghargai ruang pribadi tidak berarti bersikap tidak peduli.

“Baru lima menit,” gumam Jaehyun pada dirinya sendiri. Pandangannya berpendar, mengamati orang-orang yang berlalu-lalang, sebelum kembali membuang muka saat ada beberapa gadis muda yang melihatnya kelewat intens. “Dalam kurun sesingkat itu, sudah ada tiga orang perempuan yang meminta nomorku. Hal seperti itu masih ada sampai sekarang ya?”

Pertanyaan itu memang tak dimaksudkan untuk dijawab—Jaehyun hanya bicara sendiri. Kebiasaan ini berkurang secara signifikan karena ia lebih banyak mengobrol dengan Rose ketimbang melamun sendirian. Ia tidak banyak bicara saat bekerja—fokusnya seperti tembok tinggi nan kokoh yang tak bisa ditaklukan.

“Can I hit on you, Sir?”

Itu suara yang sangat Jaehyun kenali—suara lembut yang terdengar genit sekaligus terasa manis dan penuh antusiasme. Senyumnya spontan terulas saat matanya menangkap sosok Rose yang berdiri di depan—kelihatan sangat siap untuk memeluknya.

Winter Spring ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang