Chapter Fourteen

2.5K 326 121
                                    

Heloooo!!! Chapter ini panjang. Tarik napas dulu, buang pelan-pelan, repeat. Selamat membaca 😚😚😚



“You may be as different as the sun and the moon, but the same blood flows through both your hearts. You need her, as she needs you.”
—George R. R. Martin—

Jaehyun mengawali minggunya dengan jadwal rotasi yang sangat padat. Pasien di Rumah Sakit pusat memang selalu banyak, tapi hari ini mereka datang seperti banjir yang membludak—menguras seluruh energi sehingga membuat tubuhnya luar biasa lelah. Tidak ada yang memberitahunya jika menjadi dokter berarti ia harus mengeluarkan tenaga tiga kali lipat lebih banyak dari biasanya. Jaehyun tidak bisa memasuki ‘mode hemat tenaga’ karena Departemen Gawat Darurat di Rumah Sakit Pusat tidak pernah mengenal istilah rehat.

Tepat sepuluh menit setelah jadwalnya berakhir, Jaehyun yang kelelahan masih duduk bersandar di ruang tunggu Departemen Gawat Darurat, memejamkan mata selama beberapa saat. Ada dua jam tersisa sebelum ia pergi ke minimarket untuk bekerja. Jaehyun bisa menggunakannya untuk tidur di rumah, di bis, atau di mana saja yang bisa membuat matanya terpejam. Waktu kerjanya bisa disesuaikan dengan jadwal koas—bos di minimarket dan restoran Cina mengijinkannya karena Jaehyun sudah bekerja di sana untuk waktu yang lama—mengurangi satu kebingungan yang sempat membebani pikirannya.

Rose tidak menuntut untuk ditemani sepanjang waktu. Biasanya mereka hanya bertemu tiap merasa rindu dan memiliki waktu luang. Meskipun, setelah pengakuan perasaan yang Jaehyun buat minggu lalu, Rose jadi sedikit lebih manja dan dia selalu menelponnya tiap satu jam sekali. Jaehyun tidak selalu menjawab—dia akan mematikan ponsel saat berada di Rumah Sakit karena fokusnya selalu terarah pada pasien. Ponselnya hanya hidup saat ia datang dan saat jadwal rotasinya berakhir.

Senin ini juga bukan pengecualian. Ada banyak panggilan tidak terjawab di kotak masuk. Sepuluh panggilan dari Rose, lalu tiga dari Eunwoo, masing-masing dua dari Si Kembar, dan satu dari nomor yang tidak dikenal. Jaehyun mengamati layar ponselnya, hampir menekan ikon ‘panggil’ saat suara seorang gadis di samping menyambar telinganya begitu saja. Ia melirik dengan ekor matanya—mendapati seorang gadis seumuran Si Kembar sedang duduk sambil memandanginya. Kulit gadis itu kering dan berwarna kekuningan, rambutnya tertutup beanie putih, baju pasien sewarna langit itu tampak kebesaran di tubuh pendeknya yang kurus, dan tatapan mata yang diarahkan pada Jaehyun tampak kosong. Pria itu langsung tahu jika gadis di sampingnya merupakan pasien dengan penyakit kronis.

“Kau tampan sekali,” ucap gadis itu secara tak terduga. Bahkan Rose tidak akan seberani ini di pertemuan pertama.

Senyum Jaehyun yang terulas di wajahnya kelihatan canggung. Trauma terhadap perempuan yang ia miliki selama bertahun-tahun masih belum sirna seutuhnya. Berbeda dengan saat menangani pasien wanita, Jaehyun tak merasakan koneksi apapun dengan gadis ini. Sehingga secara otomatis ia menunjukkan sikap sebagai ‘dirinya’ dan bukan sebagai dokter. Jaehyun menarik napas dalam, menghitung sampai lima, sebelum menyunggingkan senyum yang berusaha ia buat sealami mungkin.

“Terima kasih,” tutur Jaehyun dengan suara maskulin yang membuat Si Gadis tersenyum karena menyukai suaranya. “Menilik dari penampilanmu, sepertinya kau bukan salah satu pasien di departemen ini. Kau dari mana, Nona? Mau kuantar kembali ke ruanganmu?”

“Apa kau dokter di sini?” tanya gadis itu, mengabaikan semua pertanyaan Jaehyun.

“Em... begitulah. Aku mahasiswa kedokteran yang sedang koas, jadi aku belum benar-benar berafiliasi dengan Rumah Sakit manapun. Aku punya supervisor di sini dan di Rumah Sakit lain yang terletak di pinggiran Kota Seoul maupun di daerah sub-urban lain. Untuk bulan ini, aku kebagian melakukan clinical clerking di Rumah Sakit Pusat. Begitulah, ini mungkin agak membuatmu bingung,” terang Jaehyun dengan keramahtamahan yang menjadi tulus dengan sendirinya.

Winter Spring ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang