Chapter Thirty Six

1.3K 218 26
                                    

Heyaaa, jadi gimana chapter kemarin? Ehehehe

Winter Spring surely has thicker plot than Rosé; the characters here are all different as well. So yeah making it is a bit hard yet enjoyable. Still wish you guys will love it too~~~



“When everything goes to hell, the people who stand by you without flinching—they are your family.”
—Jim Butcher—

Kunci diputar, pintu terbuka, makanan dan minuman diantarkan, itu menjadi rutinitas yang dilakukan penjaga ruangan berahang kotak. Tidak ada secercah pun cahaya matahari yang menyelinap masuk, membuat Minjeong perlahan kehilangan kemampuan untuk mengidentifikasi siang dan malam. Gadis muda yang semakin kurus itu duduk di pojok ruangan gelap dengan salah satu kaki dan tangan dirantai ke dinding; ia memeluk lutut, sama sekali tak menggubris eksistensi Si Pria Berkulit Karamel yang tengah bersandar ke dinding di dekat pintu sambil memandanginya. Minjeong menyembunyikan wajah sembabnya di antara lutut yang merah dan dingin—menahan air mata yang merembes melalui celah matanya.

Isak tangisnya tidak lagi terdengar, gadis itu menjadi sangat diam selama beberapa hari terakhir. Minjeong mulai kehabisan energi karena tidak memasukkan apapun ke dalam tubuhnya selain air mineral dari botol yang terlihat baru. Tubuh kurusnya menjadi semakin lemah, bahkan para pria menyeramkan yang mengantar makanan ke ruangannya mulai memanggil Minjeong dengan sebutan ‘Kerangka Muda’, sebutan yang sangat buruk dan tidak kreatif. Setidaknya itu yang Minjeong pikirkan.

“Tubuhmu semakin kurus,” lagi-lagi Si Pria Berkulit Karamel mengunjungi Minjeong—selalu berdiri cukup jauh dari tahanan kecil di dalam ruangan. “Kau harus makan. Tidak ada racun di dalam makananmu.”

Gadis itu tetap diam, masih menunduk dan memeluk kedua kakinya dengan erat. Seharusnya dia tak mengenakan gaun yang menjulur sampai ke lutut di penghujung Desember yang dingin; atau mungkin seharusnya dia melarang Jaemin pergi ke Busan sehingga mereka bisa terhindar dari tindak penculikan. Dunia benar-benar memberinya terlalu banyak masalah yang tak bisa dia selesaikan. Minjeong merapatkan pelukan, menahan tubuhnya yang bergetar hebat karena dia menahan isak tangis kelewat keras. Kerongkongannya mulai terasa berat, dia ingin menjerit, menggaungkan nama ketiga kakaknya sangat keras sampai membuat langit pekak dan terpaksa membawanya kembali berkumpul dengan mereka.

“Kak Jaehyun, Kak Jeno, Kak Jaemin, aku takut... aku sangat ketakutan...” gumam Minjeong sangat pelan. Tubuhnya perlahan jatuh—menabrak dinding di sampingnya. “Kalian di mana sih? Kenapa tidak menjemputku? Di sini sangat dingin dan gelap... perutku sakit... Kakak harus membelikan obat lambung. Minjeong kalian sangat sakit...”

Tubuhnya semakin lemas, Minjeong bahkan tidak bisa melihat jelas sosok yang berjalan ke arahnya dengan tergesa-gesa, fokusnya semakin pudar. Sayup-sayup telinganya mendengar pria itu berbicara—kedengaran dalam dan tanpa emosi. Tubuh kecilnya yang meringkuk di pojokan diselimuti kain tebal, membuat rasa dingin perlahan menyingkir bergantikan hangat kain wol yang halus. Minjeong berniat menendang selimut itu ke tepian saat Si Pria Berkulit Karamel mengatakan sesuatu yang membuat refleksnya tertahan. Wajahnya terangkat—begitu pula dengan tubuh yang membawanya duduk dan mendengarkan.

“Menjadi keras kepala tak akan membantumu pergi dari tempat ini,” katanya sembari mendudukan diri sedikit agak jauh dari Minjeong. Pria itu melirik si gadis kecil, kelihatan sangat serius saat mengatakan, “Makan dan jadilah kuat. Tidak ada petarung yang bisa bertarung dengan tubuh lemah.”

“Bukannya kalian memang akan membunuhku, ya?” tutur Minjeong, energinya menguap semakin cepat.

Si Pria Berkulit Karamel tidak menjawab. Dia hanya duduk seperti patung, lalu merogoh saku untuk mengeluarkan pisau lipat. Selama beberapa saat tindakannya membuat Minjeong menahan napas—gadis itu sangat yakin kalau pria di depannya akan membunuh dirinya tanpa belas kasih.

Winter Spring ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang