Chapter Nineteen

1.9K 265 53
                                    

Aloha, ini pertama kalinya setelah Rosé ada work Jaerose yang melebihi 17 chapters. Dan mayan banyak dramanya. Heuheu... semoga kalian suka~



“It is one of the blessings of old friends that you can afford to be stupid with them.”
—Ralph Waldo Emerson—

Ketika Rose memberinya sepasang sepatu baru, Jaemin pikir harinya akan lancar sampai akhir. Jaemin bahkan menyumbang tiga gol dari total lima gol yang membawa timnya pada kemenangan mutlak. Tapi, keinginannya tidak sejalan lurus dengan cara kerja semesta yang secara ajaib membawa satu-satunya gadis kaya berambut sebahu yang ia kenal tepat ke depan gerbang sekolah.

Ryujin sedang duduk bersila sambil memangku dagu. Wajahnya kelihatan masam—bahkan Jaemin beranggapan kalau gadis itu jelek. Setumpuk kekesalan tampak berputar di ubun-ubun kepalanya. Bagi Jaemin, kawan adiknya itu tak ubahnya bom atom siap ledak yang dapat membahayakan umat manusia. Tapi, meskipun tahu kalau salah perlakuan dapat membuat amarah gadis itu meledak, Jaemin yang bebas tetap memperlakukan Ryujin seperti biasa: santai dan blak-blakan. Ia tak keberatan kalau harus dipukul atau ditendang karena tenaga Ryujin tidak sebesar Jung Minjeong.

“Hei, sedang apa di situ? Apa keluargamu tiba-tiba jatuh miskin? Lebih miskin dari keluargaku sampai kau duduk seperti pengemis begini?” tanya Jaemin sambil berjongkok di samping Ryujin. Ia menerima pukulan darinya seolah itu merupakan hal biasa. Bahkan Jaemin tak mengerjap sedikitpun.

“Kau bau dan menjijikan,” kata Ryujin ketus.

“Apa yang kau harapkan? Aku baru selesai bertanding dan ini pukul enam sore,” tuturnya memberi pembelaan. “Aku sangat aktif, tidak mungkin tidak berkeringat. Tapi itu bukan hal yang penting. Kenapa kau ada di sini? Di mana supirmu? Kenapa kau tidak pulang dengan Hyunjin?”

“Aku benci Kak Hyunjin,” desis gadis itu sembari membenamkan wajah di antara lututnya yang ditekuk.

Jaemin meletakkan tasnya di depan kaki Ryujin. Lalu ia berdiri, memandang lurus ke depan. “Sebaiknya kalian segera baikan. Jangan kekanakan.”

“Yang kekanakan itu Kak Hyunjin! Bukan aku! Ugh aku benar-benar membencinya!” Ryujin memekik, sedikit mengundang perhatian dari beberapa siswa yang baru selesai belajar atau baru selesai melakukan ekstrakulikuler seperti Jaemin.

Didorong oleh perasaan malu dan tidak mau menimbulkan desas-desus, Jaemin buru-buru menarik Ryujin, membawa gadis itu bersamanya. Ia bahkan sengaja memperpendek langkahnya, menyesuaikan dengan langkah Ryujin yang pendek. “Aku tidak peduli pada masalahmu dengan Hyunjin, kalian selesaikan semuanya sendiri. Sekarang cepat telpon supirmu dan segeralah pulang ke rumah.”

“Ponselku mati.”

Kata-kata Ryujin sontak membuat Jaemin berhenti. Ia menatapnya lamat-lamat sebelum berkata, “Kalau begitu pulang dengan taksi.”

“Tidak bisa,” jawab Ryujin seraya membuang muka.

“Kenapa? Kau punya banyak uang.” Jaemin memberi pernyataan.

“Dompetku ketinggalan. Uang terakhir yang kupunya kugunakan untuk membayar supir taksi yang mengantarku ke sekolahmu,” tutur Ryujin masih belum berani menampakkan wajahnya pada Jaemin.

Jaemin mengusak rambut, kelihatan cukup frustasi. “Kenapa kau tidak langsung pulang ke rumahmu? Kenapa harus ke sekolahku? Astaga, kau ini bodoh sekali!”

“Aku... aku tidak hapal alamat rumahku.”

“Apa?” Jaemin sampat mengeryitkan dahi.

“Aku tidak tahu alamatku! Iya aku bodoh dan tidak berguna! Kau boleh mengejekku karena satu-satunya hal yang bisa kau lakukan saat sedang bersamaku memang hanya mengejek! Ayo cepat ejek aku!” Ryujin mengatakannya dengan kedua tangan terkepal dan mata terpejam. Napasnya sedikit tersenggal—hampir menangis karena frustasi.

Winter Spring ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang