LIV

48 13 23
                                    

"Kamu sejak kapan di sini, Rin?", tanya Jeremy, untuk kesekian kalinya, setelah satu jam yang lalu ia tersadar. Namun, pertanyaan itu tidak jawab oleh Arin sama sekali. Arin hanya sibuk dengan aktivitasnya. Seperti memanggil dokter, menyodorkan air minum, dan saat ini sedang mengupas buah.

"Rin...", panggil Jeremy.

"Chrysantarin Gifty!", panggil Jeremy yang kini berhasil mendapatkan fokus Arin.

"Apa?", jawab Arin datar.

"Sejak kapan kamu di sini? Kamu ga nungguin aku di sini kan dari semalem?"

"Sejak tadi pagi. Jam 9. Aku ga nungguin kamu dari semalem. Sekitar jam 2 aku dianter pulang sama Wahyu"

"Kamu pulang semalem itu? Kenapa? Siapa yang nyuruh kamu pulang sampai semalam itu? Kalau keluarga kamu khawatir gimana? Kamu ga..."

"Kamu pikir, karena apa aku pulang sampai selarut itu?!", sentak Arin, membuat Jeremy terdiam. Tidak berani melanjutkan pertanyaannya.

"Coba... kamu pikir! Karena apa aku pulang selarut itu? Karena apa aku sampai bela-belain malam-malam masih di luar, masih di rumah sakit? Karena apa aku sampai rela dimarahin Bang Jona dan Papa tadi pagi? Coba kamu pikir!! Karena apa?! Bisa-bisanya... bisa-bisanya...", tangis Arin kemudian pecah, membuat Jeremy terbangun dari posisinya. Berusaha merengkuh Arin, walau sekujur tubuhnya masih terasa sakit.

"Ma.. maaf. Iya... semuanya karena aku. Maaf ya... Aku minta maaf. Maaf ya Arin", mohonnya sambil terus merengkuh Arin yang masih menangis. Dengan penuh kepedihan, dia mengusap halus rambut Arin. Berusaha menghentikan tangis Arin.

"Maaf ya, Rin. Maaf banget. Maaf... sekali lagi aku minta maaf", kembali, Jeremy meminta maaf. Arin terus menangis. Jeremy hanya bisa terus meminta maaf sambil mengusap lembut rambut Arin.

"Cerita. Kamu harus cerita kejadian semalam", ujar Arin begitu tangisnya reda. Ada perasaan tidak nyaman yang tertangkap di wajah Jeremy. Tapi, Arin tidak gentar. Ia butuh penjelasan.

"Cerita... atau aku ga akan mau ketemu kamu lagi", ancam Arin. Ancaman itu, membuat Jeremy lemah. Menghela napasnya, Jeremy kemudian memulai ceritanya. Tentang apa yang terjadi kemarin sore. Tentang fakta yang ia temukan, bahwa Kakeknya selama ini membohongi dirinya dan mengetahui tentang Jeremy yang mengetahui kebohongannya. Juga tentang Andreas, yang ternyata mengkhianati dirinya.

"Remy..."

"Hmm?"

"Kamu ga mau denger penjelasan Kakek kamu dan Andreas? Mungkin... mungkin saja... ada alasan di balik perbuatan mereka"

"Kakek tua itu cuma menginginkan perusahaannya tetap berjalan, tidak rusak, selalu sempurna. Dan Andreas? Bagaimanapun juga, dia dibayar oleh kakek tua itu, tentu saja dia akan melakukan semua perintah kakek tua itu"

"Itu kan menurut kamu, kamu kan belum mendengar apa alasan mereka. Bisa saja... mereka melakukan itu... untuk melindungi kamu dan Papa kamu"

"Kamu disuruh mereka ya?", tuduh Jeremy.

"Engga! Ga akan pernah, Rem. Aku ngomong gini karena... karena aku pernah di posisi kamu. Menyalahkan seseorang atas apa yang terjadi. Tidak mau mendengar alasannya, hingga akhirnya aku dipenuhi kebencian", ujar Arin. Jeremy cukup tersindir. Ia yakin, orang yang dimaksud Arin adalah dirinya.

"Aku ga mau kamu mengalami apa yang aku rasakan. Karena aku tahu, dipenuhi kebencian itu ga membuat hidup kamu nyaman", ujar Arin kembali.

Entah Jeremy sedang bernasib baik atau buruk, setelah Arin berkata seperti itu, Andreas datang ke kamar tempat ia dirawat di rumah sakitnya. Lalu di belakang Andreas, ada Alex yang menyusul masuk.

Blooms in AutumnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang