LV

49 12 15
                                    

Arin termenung di depan laptopnya. Ia sudah selesai mengerjakan proposalnya. Namun, suara Dayana menggaung di telinganya.

"Setelah kamu kumpulin draft pertama proposal kamu, luangin waktu ya buat ngobrol sama Mark"

Arin menghela napasnya. Arin tahu dirinya salah. Namun, Arin lari dari kesalahan itu.

Malam itu, setelah dirinya diantarkan pulang oleh Wahyu, Arin ingat akan hal yang tadinya ia ingin lakukan. Bertemu dengan Mark. Namun, karena terlalu lelah, Arin memilih untuk membersihkan diri dan setelahnya langsung tertidur, tanpa menyentuh handphonenya kembali.

Pagi harinya, ia tahu bahwa ia berhutang penjelasan pada keluarganya, karena itu Arin langsung menghadap ketiga abangnya dan orang tuanya. Menjelaskan kejadian yang menimpa Jeremy, tidak secara detail, hanya bagian kecelakaan hingga sampai di rumah sakit. Beruntungnya, kelurganya cukup menerima penjelasan tersebut walau Arin tetap saja ditegur karena melebihi jam malam.

Sesampainya di rumah sakit, Arin pun baru mencharge handphonenya yang sejak semalam sudah mati total, sambil menunggu Jeremy sadar. Arin hanya ingat, ia menyentuh handphone hanya untuk mengabari Wahyu bahwa Jeremy sudah sadar. Yang Arin ingat, ia hanya menyentuh handphonenya kembali ketika ia bersiap pulang.

Dan selama itu, Arin juga ingat, bahwa tidak ada pesan apapun dari Mark.

Hal itu yang membuat Arin semakin ragu untuk mengabari Mark. Selain karena perasaan bersalahnya, yang membuatnya jadi segan untuk mengabari Mark, Arin merasa Mark tidak mencarinya.

Arin merasa, Mark tidak benar-benar ingin mengungkapkan perasaannya.

Arin pun memilih diam, sambil ia kembali menyiapkan hati untuk kembali bertemu Mark. Perkara Jeremy sudah cukup mengacaukan hati dan pikirannya saat itu, Arin tidak mau menambah beban pikirannya. Karena itu, Arin memutuskan untuk tidak menghubungi Mark kembali.

Arin pikir, itu akan membuatnya lega. Namun nyatanya, tidak.

"Setelah kamu kumpulin draft pertama proposal kamu, luangin waktu ya buat ngobrol sama Mark"

Suara Dayana kembali menggaung di telinganya. Sudah satu bulan sejak Dayana mengatakannya. Bahkan Arin sudah mengumpulkan draft proposalnya yang ketiga. Dayana pun, sepertinya sudah malas mengingatkan Arin untuk menghubungi Mark.

Arin semakin merasa tidak enak begitu Mike yang terang-terangan berbicara padanya saat ada acara di Firmamentum.

"Rin, Mark itu sahabat aku. Jujur, aku marah dan kesel lihat Mark seperti sekarang, tapi aku ga bisa marah, Rin. Karena orang yang bikin Mark kacau itu kamu, orang yang aku anggep seperti saudara aku. Gimana bisa, aku marahin saudara aku?"

Arin mau menghubungi Mark. Tapi dia malu. Dia malu akan kesalahannya. Dia bingung bagaimana harus mengatasi rasa bersalahnya.

-.-.-.-

"Kamu dan kakek kamu gimana?", tanya Arin. Jeremy hanya diam sambil meneguk segelas cola di hadapannya.

Keduanya baru saja selesai menonton film di bioskop, sekarang mereka sedang bersantai di restoran dekat bioskop.

"Biasa aja"

"Rem...."

"Lalu aku harus gimana? Aku masih belum bisa terima alasan dia sampai dia melakukan hal gila itu, Rin. Karena dia, banyak hal yang harus aku alami sejak aku lahir di dunia ini. Aku..."

"Iya, Rem. Iya. Aku paham. Tapi ga ada salahnya kamu belajar menerima masa lalu, memaafkan masa lalu kamu, dan menjalani masa depan tanpa perlu marah dan kecewa akan masa lalu kamu", saran Arin, penuh senyum, berharap Jeremy menerima sarannya. Jeremy hanya bisa menghela napas.

Blooms in AutumnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang