XXXVIII

64 11 10
                                    

Andreas menatap haru kepada dua orang yang sedang berpelukan di hadapannya. Pasangan Papa-Anak yang tidak pernah bertemu sejak anaknya lahir.

Awalnya Jeremy sulit menerima fakta ini. Bersama dengan Joseph, mereka menjelaskan perlahan kepada Jeremy. Tentang kehidupan Joseph dan Maria yang menikah tanpa sepengetahuan keluarga masing-masing. Tentang kecelakaan mereka. Tentang Joseph yang dikurung di rumah hingga terkurung di kamar ini selama kurang lebih 20 tahun.

Begitupun dengan Jeremy, setelah mencoba mengumpulkan keberaniannya, Jeremy pun menceritakan kehidupannya. Tentang dirinya yang hidup sangat sederhana bersama Mama dan Neneknya. Tentang Mama dan Neneknya yang sakit-sakitan. Tentang tawaran Alex. Tentang kehidupan Jeremy setelah tinggal di rumah Alex. Tentang surat Mamanya... yang tidak pernah tersampaikan.

Andreas tahu, ini fakta yang benar-benar mengejutkan. Jika Andreas adalah Jeremy ataupun Joseph, mungkin Andreas sudah pingsan di tempat. Cerita yang terjadi selama 20 tahun itu, tentu sulit untuk diterima.

Andreas melihat arlojinya. Nyari 4 jam sejak Jeremy berada di ruangan ini. Joseph masih menangis sambil memeluk Jeremy. Jeremy hanya bisa menangis diam dengan bahu yang bergetar hebat dalam pelukan Joseph. Ini ketiga kalinya Andreas melihat Jeremy menangis seperti ini. Pertama, saat pemakaman Mamanya. Kedua, saat pemakaman Neneknya. Dan sekarang, yang ketiga, saat bertemu dengan sosok yang selama ini ia kira telah tiada.

Selain itu, Andreas hanya melihat Jeremy menahan air matanya, atau membiarkan air matanya jatuh perlahan di taman belakang rumah. Itupun, Andreas lihat tanpa sengaja saat pulang terlalu larut.

"Bang, di mana Kakek tua itu?", marah Jeremy, setelah melepas pelukannya.

"Mau ngapain?", panik Andreas. Walaupun Andreas sudah menduga Jeremy akan marah, tapi Andreas belum sanggup melihat pertempuran antara Kakek dengan cucunya itu.

"Perlu saya jelaskan apa yang akan saya lakukan?"

"Bukan begitu, Tuan. Tapi... tapi saya mohon agar Tuan tetap diam"

"Maksud kamu?"

"Begini Jeremy. Tentang Tuan Joseph yang ada di kamar ini, baru saya ketahui sekitar setahun yang lalu. Baik Bapak Kepala dan Pak Hendrawan, menyuruh saya untuk menjaga informasi ini dari kamu. Saya..."

"Ya! Karena itu! Kenapa selama ini mereka selalu mengatakan bahwa Papa saya sudah tiada? Padahal Papa saya ada di sini? Saya ingin mendengar alasan mereka. Terlebih alasan si Kakek tua itu!"

"Jeremy... saya hanya tidak ingin melihat kamu kembali terluka. Selama inipun, saya berusaha memikirkan cara agar kamu bisa mengetahui fakta ini. Tapi sebelum saya menemukannya, kamu malah sudah mengetahuinya. Saya tidak ingin kamu dilukai kembali oleh Bapak Kepala. Maka dari itu, tolong tahan informasi ini, sampai saya menemukan solusinya", mohon Andreas, walaupun dirinya sendiri tidak yakin akan ada solusi damai dalam perkara ini.

"Benar, Jeremy... lebih baik kita diam saja terlebih dahulu. Jangan gegabah. Kakek kamu itu, orang yang mudah menghancurkan sesuatu yang menghalanginya. Papa... Papa tidak ingin melihat kamu terluka, Nak", tambah Joseph.

Jeremy pun duduk di sofa. Menghembuskan napasnya kasar. Kesal karena baik Andreas dan Papanya menghalanginya untuk meminta penjelasan pada kakeknya.

"Nak, lebih baik seperti ini dulu. Setidaknya, walaupun mesti diam-diam dan sembunyi, setidaknya kita bisa bertemu. Itu... sudah jauh lebih baik daripada Papa tidak bisa bertemu dengan kamu lagi", ujar Joseph, membuat Jeremy berpikir ulang.

Benar juga, setidaknya dia masih bisa bertemu dengan Papanya.

"Jadi... kamu bakal tetap diam dan tidak melakukan perlawanan kepada Bapak Kepala, kan?", tanya Andreas, hati-hati.

Blooms in AutumnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang