LVII

45 10 25
                                    


Sudah setengah jam sejak Jeremy menepikan mobilnya di dekat Taman Kota. Ia sendiri bingung, bagaimana menenangkan hati perempuan yang berada di sampingnya, yang daritadi hanya menangis tanpa suara.

Tadi pagi, harusnya ia dan Arin bertemu di perpustakaan pusat. Namun, karena Arin tidak kunjung datang dan tidak bisa dihubungi, Jeremy pun menghubungi Dayana. Begitu tahu Arin sedang berada di kampus kedokteran, Jeremy pun segera pergi ke sana. Takut jika ia telat, Arin sudah bukan miliknya lagi.

Tapi, rasa takut itu segera hilang begitu melihat Arin yang sedang berlari kecil meninggalkan salah satu gedung kampus kedokteran. Dengan cepat, Jeremy pun langsung menghadang Arin dengan mobilnya. Tanpa banyak bertanya, Jeremy langsung membukakan pintu mobilnya dan menyuruh Arin masuk.

Arin sendiri cukup kaget begitu melihat Jeremy, tapi pada akhirnya Arin memilih masuk ke dalam. Ia hanya ingin meninggalkan kampus itu secepat mungkin. Kalau bisa, langsung menghilang.

Untuk kesekian kalinya, Jeremy menyodorkan selembar tissue kepada Arin. Tanpa perlu mengangkat kepala, Arin menerimanya. Jeremy pun menatap ke arah taman di hadapannya.

Saat ini, Taman Kota tampak lengang. Tentu saja, saat ini masih jam kerja dan jam sekolah. Tidak akan ada yang berdiam di Taman Kota pada jam seperti ini. Bahkan saat ini, hanya ada mobilnya yang berhenti di dekat Taman Kota.

Jeremy sedang berpikir, kemana ia akan membawa Arin. Namun, baru saja Jeremy akan menyalakan mesin, Arin memanggilnya.

"Rem"

"Iya, Rin?", ujarnya lembut, takut ucapannya melukai hati Arin.

"Makasih ya"

"Sama-sama, Arin"

"Maaf juga ya"

"Gak apa-apa, Ariiiin", jawab Jeremy, menambahkan sedikit tawa agar Arin berhenti menangis. Cukup berhasil, karena Arin mulai menyunggingkan senyumnya.

"Aku pasti kelihatan bodoh banget tadi"

"Iya, untung aku jemput, jadi kamu ga kelihatan bodoh di sana"

Arin hanya membalasnya dengan tersenyum.

"Jadi... kenapa kamu menangis?", tanya Jeremy.

"Kalau aku cerita, kamu jangan marah ya?"

"Ga akan! Aku janji"

Arin menarik napasnya dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Berusaha menenangkan pikirannya dan bersiap untuk menceritakannya pada Jeremy.

"Tadinya, aku pikir, hari ini aku bisa menyampaikan perasaan aku. Tapi ternyata... aku terlambat"

"Maksud kamu?"

"Dia udah sama perempuan lain, perempuan yang memang lebih cocok sama dia"

Arin kemudian diam, ragu untuk melanjutkan, takut ia kembali menangis. Jeremy hanya diam mendengarkan, menunggu Arin untuk kembali melanjutkan ceritanya.

"Begitu melihatnya, rasanya sakit sekali. Aku ga sanggup lihat lebih lama, aku memilih langsung pergi. Bodohnya aku lupa, kalau aku cuma sendirian di sana. Jadi... aku malah lari-lari di kampus orang. Untungnya... kamu dateng. Makasih ya, Rem"

Jeremy hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

"Rem... maaf juga ya, aku ga bisa menjawab pertanyaan kamu. Maaf.... karena aku memilih dia, bukan kamu"

Jeremy diam, dia sudah menduganya. Jeremy hanya bisa menghembuskan napasnya perlahan.

"Gak apa-apa, Rin. Tapi boleh ga kalau aku tunggu kamu?"

Blooms in AutumnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang