XL

59 10 16
                                    

"Mark!"

Mark menghentikan langkahnya, membalikkan badannya, melihat Mina yang menghampirinya.

"Udah mulai nyusun skripsi?", tanya Mina. Mark menganggukkan kepalanya.

"Mau masukin kapan?"

"Mungkin minggu depan"

"Ohh. Mark, kamu tahu minggu depan udah bisa pilih lokasi KKN?"

"Tahu. Triyan sama Mike udah kasih tahu gue"

"Kamu rencananya pilih tema apa?"

"Kalau ada tematik yang nyambung sama kedokteran, gue pilih itu. Kalau ga ada, yang biasa aja"

"Ada rencana pilih lokasi di mana ga?"

"Ga ada. Gue siap di mana aja"

"Aku boleh minta tolong ga, Mark?"

"Apa?"

"Kalau kamu ga keberatan, kasih tahu aku lokasi KKN kamu di mana"

"Kenapa?"

"Hmm... biar bareng? Aku mau KKN sama orang yang udah aku kenal"

"Kan lo punya temen-temen yang lain. Kenapa mesti sama gue?"

"Hhmm... soalnya... soalnya...", Mina menundukkan wajahnya. Bingung harus menjawab apa.

"Mina. KKN itu bukan soal temennya, tapi pengabdiannya. Gue duluan ya, mau ke bapendik", pamit Mark lalu meninggalkan Mina.

Mina hanya bisa menatap kepergian Mark. Entah sudah berapa kali Mina mencoba, Mark tetap seperti itu. Mark hanya menganggapnya teman satu sekolah dan satu kampus. Tidak lebih dari itu.

Mina tahu dirinya cukup nekat jika berkaitan dengan Mark. Menghampiri Mark. Mengajak mengobrol. Meminta Mark untuk mengajarkan materi yang sebenarnya ia pahami. Bahkan, Mina nekat mengambil penelitian dengan tema dan dosen yang sama dengan Mark agar Mina bisa lebih lama dengannya.

Bagaimanapun, Mark adalah cinta pertamanya. Orang yang mampu membuat jantung Mina berdegup kencang hanya dengan berbicara padanya. Orang yang mampu membuatnya tersenyum hanya dengan membalas chatnya, yang isi chatnya pun hanya berkaitan tentang materi dan tugas kuliah.

Sudah lima tahun berlalu, sejak Mina pertama kali bertemu dengan Mark, di lorong gedung SMA. Saat itu, hari pertama MOS. Karena tiba-tiba dipanggil ke lapangan, seluruh siswa pun berlarian. Mina, yang saat itu ruang kelasnya berada di lantai dua, ikut berlarian dan berdesakan menuruni tangga, membuatnya limbung dan terjatuh. Tidak ada yang mau menolongnya, hingga sebuah tangan meraihnya, membantunya untuk melangkah menuju lapangan. Membuat keduanya harus terkena hukuman akibat telat datang ke lapangan.

Sejak saat itulah, Mina menaruh hatinya pada Mark. Ditambah lagi, Mark tidak pernah menolak kehadirannya. Walaupun Mark berbicara dengan intonasi datar dan terkesan dingin, tidak membuat Mina menyerah. Apakah Mark tahu, selain karena paksaan kedua orangtuanya, Mark adalah alasannya mengambil pendidikan kedokteran?

Melihat Mark yang sudah tidak terlihat olehnya, Mina membalikkan badannya, menghampiri teman-temannya yang sedang belajar bersama di gazebo kampus.

***

Sabtu pagi, Mark sedang mengerjakan skripsinya di toko. Seluruh karyawannya sedang mengurus dekorasi sebuah pernikahan sedangkan Papanya sedang mengurus seminar di kampus. Mark menghela napasnya. Akhirnya ia tahu mengapa skripsi menjadi momok bagi mahasiswa semester akhir.

Meregangkan tubuhnya, Mark menuju dapur untuk mengambil segelas air dingin. Baru saja ia menuangkan air ke dalam gelas, suara pintu toko terbuka terdengar. Sambil meminumnya, Mark kembali melangkah ke depan.

Blooms in AutumnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang