LX

57 11 1
                                    

Arin membanting tubuhnya di kasur, menghela napasnya. Hari ini terlalu banyak hal yang ia lalui. Terlalu banyak sampai membuat tubuhnya lelah. Arin melempar pandangannya pada seisi kamarnya hingga ia bertemu pada kalender dindingnya. Ada sebuah tanda bintang yang ia beri pada penanggalan hari ini.

Arin tahu apa fungsi tanda bintang itu.

Pengingatnya akan sidang akhir Mark. Pengingatnya akan pilihan yang Mark berikan, yang juga berkaitan dengan pilihannya.

Arin memejamkan matanya. Perasaan tidak nyaman langsung menyerang dadanya.

Mark berhasil melalui sidang akhirnya, bukan?

Mark lulus dengan hasil yang memuaskan, bukan?

Mark tidak menunggu kehadirannya, bukan?

Ada banyak tanya yang hinggap di benaknya, tapi Arin tahu pertanyaan itu tidak layak untuk ditanyakan. Karena semuanya telah berakhir.

Arin memilih untuk menyakiti perasaannya dan juga perasaan Mark.

Arin memilih untuk tidak memilih Mark.

Arin memilih untuk menjadi pengecut. Berlindung di balik kisah Jeremy agar ia bisa kabur dari perasaannya.

Arin mengecek ponselnya, terlihat beberapa pesan dari teman-temannya. Tapi, tidak ada satupun pesan dari Mark. Arin menghela napasnya, kembali memejamkan matanya. Cukup lama, hingga tanpa ia sadara, air mata meluncur dari balik kelopak matanya.

Mark dan dirinya akan lebih baik seperti ini, bukan?

Pertanyaan dari dirinya sendiri tidak mampu dijawab oleh Arin. Hanya perasaan sakit yang menyerang dadanya yang menjadi jawab atas tanyanya.

"Mark... maaf"

***

"Jujur sama gue, lo masih kepikiran kejadian dua minggu yang lalu, kan?", tanya Haikal saat mereka berdua sedang di laboratorium.

"Engga, Kal"

"Bohong"

"Engga. Beneran, Kal"

"Terus apa yang bikin lo hilang fokus daritadi? Lo daritadi salah nimbang sampel, Rin!", kesal Haikal yang sedari tadi ikut menimbang beberapa sampel penelitian Arin.

"Kamu daritadi yang bikin aku ga fokus, Kal! Dari sejak kamu dateng, kamu ga berhenti nanyain kejadian itu!", kesal Arin.

"Kalo lo beneran ga ada masalah apa-apa sama kejadian itu, lo ga akan hilang fokus sampai segininya, Rin"

Arin menyerah, meletakkan bolpoinnya kasar. Meregangkan badannya yang sedari pagi sudah diam di laboratorium.

"Kal..."

"Apa?"

"Bantuin aku buat lupain Mark"

"Kenapa lo harus lupain dia?"

"Aku sama dia udah ga akan bisa, Kal"

"Bisa. Cuma lo nya aja yang pengecut. Ga jujur sama hati lo sendiri"

"Kal...."

"Gue yakin sih, kalau ada Dayana di sini, pasti Dayana juga udah marahin lo dari kemarin-kemarin"

"Terus... aku harus apa?", tanya Arin, suara bergetar. Mencoba untuk tidak menangis.

"Kesempatan aku udah abis. Dan aku rasa, aku sama Mark udah ga ada harapan lagi"

Haikal mengacak rambutnya. Kesal. Kesal karena perilaku temannya ini.

"Jadi, Kal. Tolong ya, Kal. Bantu aku lupain dia. Tolong, Kal", mohon Arin.

Blooms in AutumnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang