XVIII

59 15 3
                                    

"Nih diminum dulu", ujar Mark sambil menyodorkan sebuah minuman rasa stroberi pada Arin. Setelah 'memaksa' Arin untuk pergi bersamanya, kini mereka berada di sebuah minimarket. Sesuai perintah Mike, Mark harus menenangkan Arin terlebih dahulu sebelum diantarkan pulang.

"Makasih", lirih Arin, tidak berani menatap wajah Mark. Ada rasa bingung dan malu yang menerpa dirinya saat ini. Bingung mengapa Mark memaksa dirinya untuk ikut dengannya dengan mengatasnamakan Jona dan malu karena dirinya sempat menangis di hadapan Mark.

"Kalau udah tenang bilang ya, biar pulang". Arin pun hanya bisa mengangguk pelan. Kemudian tidak ada satupun yang berbicara. Keduanya sama-sama bingung untuk memulai percakapan.

"Lo... udah pernah periksa ke dokter?", tanya Mark, mencoba memecah keheningan, sambil membuka sebotol minuman kopi. Namun kemudian ia menyadari bahwa pertanyaannya terlalu personal.

"Ma.. maksud.. nya?", bingung Arin.

"Ya... tadi. Lo... panic attack gitu. Bukan maksudnya kepo, cuma... ya gue anak kedokteran dan tolong pahami gue yang tertarik dengan hal-hal seperti itu"

"Dulu. Pernah... waktu abis kecelakaan"

"Sekarang ga lagi?". Arin pun menjawab dengan gelengan pelan.

"Tadi kambuh karena apa?", tanya Mark penasaran. Mark sendiri bingung kenapa dirinya sangat penasaran. Padahal, ia paling malas untuk mengetahui urusan orang lain.

Arin hanya diam. Rasanya ia belum lama mengenal Mark dan sangatlah aneh menceritakan 'penyakit'nya pada Mark. Arin pun memilih diam, berharap Mark mengerti bahwa ia tidak ingin menceritakannya pada Mark.

"Sorry kalau gue ga sopan", ujar Mark, paham akan sikap Arin yang tidak kunjung menjawab pertanyaan. Hening pun kembali menyapa mereka.

"Tadi... beneran disuruh sama... Bang Jona?", tanya Arin terbata.

"Bukan Dokter Jona yang nyuruh langsung. Dokter Jona minta tolong ke Mike, Mike minta tolong ke gue"

"Kok... Bang Jona bisa tahu? Kalau aku lagi di kafe itu?"

"Gue ga tahu"

"Terus kenapa kamu bisa jemput aku?"

"Gue ga jemput lo. Tapi...", ucapan Mark terpotong, handphonenya berbunyi. Ada panggilan masuk dari Mike.

"Apa setan?"

"SOPAN DIKIT KEK!"

"Ngapain sopan ke lo?"

"Terserah! Arin gimana? Ini Bang Jona nanyain kabar nih ke gue"

"Ini di depan gue, lagi minum. Mau ngomong?"

"IYA! IYA! Gue harus cek lo beneran jemput Arin atau engga!"

"Mike", ujar Mark sambil menyodorkan handphonenya ke Arin. Arin pun bingung, tapi tetap menerima handphone tersebut.

"Halo"

"..."

"Iya tadi dijemput sama Mark"

"..."

"Iya, nanti aku kabarin Bang Jona"

"..."

"Iya. Makasih Mikeu". Mark tidak bisa menahan senyumnya. Walaupun sudah pernah mendengarnya, tetap saja ia masih tidak bisa menahan tawa setiap mendengar Arin memanggil Mike dengan Mikeu.

"Ini. Makasih ya Mark", ujar Arin sambil mengembalikan handphone Mark. Mark pun hanya mengangguk pelan. Baru saja Mark menerima handphonenya dari Arin, ada sebuah panggilan dari nomor tidak dikenal.

Blooms in AutumnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang