XXXVII

47 11 21
                                    

Mark melajukan motornya menuju kedai es krim favoritnya. Kali ini, Mark tidak membutuhkan secangkir kopi, melainkan semangkok es krim vanila, untuk menenangkan pikirannya dan menemaninya saat malam nanti.

Mengerjakan skripsi dengan kuliahnya yang masih full dari Senin sampai Jumat bukanlah perkara mudah. Dari jam 8 sampai jam 1 mengikuti kelas. Setelah itu mengerjakan data skripsinya sambil menunggu dosen. Setelah itu pulang ke rumah, mengolah data, mengerjakan tugas, dan mempelajari materi. Kini Mark paham mengapa Mike suka menyesal menjadi anak kedokteran. Karena kali ini, dirinya setuju dengan Mike.

Begitu ia membuka pintu kedai es krim, ia kaget melihat Arin yang hanya mengaduk es krimnya dengan tatapan kosong. Bahkan es krim yang di hadapannya, sudah mencair. Menandakan Arin sudah lama terdiam di sini.

Awalnya, Mark ragu untuk menghampiri Arin. Namun, tak sengaja Mark melihat air mata Arin terjatuh, yang dengan cepat dihapus oleh Arin. Mark menghela napasnya.

"Chrysantarin", panggil Mark. Arin mendongak, mendapati Mark yang berdiri di hadapannya.

"Hai Mark", sapa Arin, lalu kembali menatap es krimnya.

"Boleh duduk di sini?", tanya Mark. Arin hanya menganggukkan kepalanya. Mark pun menarik kursi di hadapan Arin, lalu duduk di situ.

"Lagi ada masalah ya?"

"Emang kelihatan banget ya?"

"Iya"

Arin menghela napasnya kasar. Ia tertangkap basah. Sebelum Mark, ada Dayana, Yovita, dan Haikal yang menanyakan hal yang sama. Mungkin teman-temanya yang lain juga bisa menebaknya, tetapi terlalu segan untuk menanyakannya.

Dan kini, Mark, yang entah mengapa bisa ada di sini, juga menanyakan hal yang sama.

"Ada masalah apa?", tanya Mark setelah memesan semangkok es krim vanilanya.

"Gapapa. Ga penting juga"

"Kalau ga penting, ga akan dipikirin sampai lo nangis"

Arin kembali mengaduk es krimnya. Dengan kesal, Mark menarik mangkok es krim, yang sudah terlihat seperti sop berwarna merah muda itu, dan memberikannya kepada pelayan. Tak lupa, Mark kembali memesan es krim yang sama untuk Arin.

"Kok diambil?"

"Gue mual ngeliatnya. Udah gue pesenin lagi kok"

Kini tidak ada yang bisa dimainkan oleh Arin. Kini, Arin hanya menatap kosong ke deretan menu yang tertampil di dekat kasir.

"Arin..."

"Hmm"

"Kalau lo ada masalah dan lo ga ada temen buat cerita, lo bisa cerita ke gue. Seperti dulu lo cerita tentang Jeremy", ujar Mark, berusaha tenang. Walaupun dalam hatinya, ia ingin sekali tahu permasalahan Arin.

Tiba-tiba air mata Arin kembali jatuh.

"Duh, mata aku kelilipan", ujar Arin agar Mark tidak mengkhawatirkannya. Padahal Mark tahu bahwa Arin sedang menahan tangisnya.

"Gue udah janji ke Dokter Jona buat jagain lo. Jadi... Arin?"

Arin menutup wajahnya. Bahunya berguncang. Arin... menangis. Mendengar nama Jona, membuat Arin menangis.

"Arin?", panggil Mark sambil menyodorkan sekotak tissue.

"Hiks.. hiks.. Bang Jona"

"Ada apa dengan Dokter Jona?"

"Bang Jona... udah dua minggu ga pulang ke rumah..."

"Setahu gue, rumah sakit tempat Dokter Jona lagi persiapan akreditasi. Jadi wajar kalau Dokter Jona sibuk dan..."

Blooms in AutumnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang