LIX

28 10 5
                                    

Kalvin dan Mike berdiri tidak jauh dari sosok yang mereka khawatirkan. Sosok yang sekarang sedang duduk di kursi depan ruang sidang akhir, memakai kemeja putih berdasi hitam dan celana hitam.

Mark. Duduk diam dengan berkas-berkas yang berada di sampingnya.

Semua orang yang melewatinya, pasti menduga bahwa Mark tidak dinyatakan lulus dalam sidang akhirnya. Padahal, Mark meraih nilai yang sangat memuaskan, bahkan para penguji bertepuk tangan karena jawaban Mark sangatlah memuaskan.

"Kalvin"

"Kenapa?"

"Gue mau nyamperin dia juga bingung nih"

"Sama, gue juga"

"Terus gimana? Kita diemin aja dia duduk bengong kaya orang kehilangan masa depan?"

Kalvin tidak menjawab, dia hanya memperhatikan sosok Mark yang berada 10 meter di hadapannya. Hanya terpisah oleh taman.

"Dia tuh nungguin Arin?", tanya Kalvin.

"Kayanya sih iya, gue udah ga berani tanya masalah mereka apaan. Gue tanya Arin, Arin pun ga jawab", jelas Mike.

Di hadapan mereka, Mark masih duduk diam. Sesekali melihat arlojinya.

Sidang akhirnya sudah selesai dari tiga jam yang lalu. Berbagai pujian dan ucapan selamat sudah diterimanya sedari tadi. Tapi, itu semua belum lengkap. Mark masih menanti seseorang.

Orang yang sudah ia tunggu kehadirannya sejak ia membuka mata tadi pagi. Orang yang hampir mengalihkan fokusnya selama ia menjawab beberapa pertanyaan dari penguji.

Arin. Chrysantarin Gifty.

Sejujurnya, Mark ingin menelpon Arin. Tidak, bahkan Mark ingin menghampiri Arin begitu penguji menyatakan ia lulus dengan nilai sangat memuaskan. Tapi... itu semua tidak mungkin ia lakukan.

Drrtt... Drrrttt...

Ponselnya bergetar, Mark kira, itu adalah panggilan dari orang yang ditunggunya. Tapi sayangnya bukan, itu Papanya. Baru pertama kali Mark merasa kecewa karena Papanya menelponnya.

"Halo, Pa"

"MARK HERFST!!! SELAMAT YA!!!"

Mark sedikit menjauhkan ponselnya dari telinganya. Teriakan Papanya cukup mengejutkan.

"I..iya, Pa"

"Gimana? Kata Mike dan Kalvin sidang kamu dapat nilai A ya?"

"Iya, Pa"

"Ya ampun.... Papa bangga banget sama kamu, Mark. Mama kamu juga pasti bangga sama kamu. Maaf banget ya, Papa baru telpon kamu, seminar Papa baru selesai"

"Iya, Pa. Ga apa-apa"

"Papa jemput kamu ya?"

"Ga usah, Pa"

"Loh kenapa?"

"Aku... masih ada yang perlu diurus. Berkas untuk yudisium dan daftar koas"

"Ya udah, kalau gitu Papa tunggu kamu di rumah ya"

"Iya, Pa"

Mark menutup ponselnya, lalu kembali melihat notifikasi. Barangkali saja, selama ia berbincang dengan Papanya, Arin memberi kabar untuknya.

Nihil. Tidak ada pesan apapun yang dikirimkan Arin padanya.

Mark menghela napasnya. Terasa berat sekali. Rasanya seperti ada batu besar yang menekan dadanya.

Mark masih diam, memilih menunggu tanpa tahu apakah Arin akan datang padanya.

Drrrttt...

Blooms in AutumnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang