LVI

45 11 13
                                    

Mark melihat dari jendela perpustakaan pusat, terlihat hujan turun dengan derasnya. Mark menyesal telah memarkirkan mobilnya cukup jauh dari gedung perpustakaan. Beruntungnya, ia masih menyimpan payung lipat di tasnya. Tapi, dengan hujan sederas ini, apakah payung cukup menaungi dirinya dari derasnya hujan?

Mark memilih untuk menunggu hujan reda di kafe perpustakaan, di lantai bawah. Memesan segelas moccacino hangat, ia pun lalu duduk di sebuah meja kosong. Awalnya Mark hanya menatap derasnya hujan sambil memikirkan sidang skripsinya yang akan berlangsung dua hari lagi. Namun, begitu waiter mengantarkan moccacino miliknya, Mark melihat punggung seorang perempuan yang dikenalnya.

Mark mencoba untuk mendekat, tapi ia ragu. Terlebih segelas kopi di hadapannya, tidak bisa ia bawa untuk duduk bersama dengan perempuan itu. Tapi, kesempatan bertemu perempuan itu sangatlah sulit. Mencicipi sedikit, lalu meninggalkan moccacino miliknya, Mark pun mendekati perempuan itu.

Arin.

"Rin...", panggil Mark dari balik punggung Arin. Arin tidak merespon, hingga Mark menyadari bahwa kedua telinga Arin tertutupi oleh headset. Sepertinya, Arin sedang mendengarkan lagu sambil membaca buku yang ada di hadapannya.

Mark pun melangkah ke depan Arin, lalu memanggil namanya sekali lagi.

"Arin", panggil Mark sambil mengetuk meja.

Melihat bayangan seseorang yang berada di depannya dan suara ketukan meja yang menyusup ke telinganya, Arin pun mendongakkan kepalanya. Kemudian, Arin terkejut.

"Ma.. Mark?", ujar Arin, terkejut.

"Boleh duduk di sini?", tanya Mark. Arin pun menganggukkan kepalanya, lalu melepas headsetnya. Dirinya belum siap, tapi ternyata semesta tidak memihaknya. Setidaknya, hari ini ia harus meminta maaf. Itu yang Arin pikirkan.

Namun nyatanya, keduanya terlalu canggung untuk membuka topik pembicaraan.

"Rin..."

Akhirnya, Mark memberanikan diri membuka topik.

"Gi.. gimana kabarnya?"

"Baik. Kamu... gimana kabarnya?"

"Baik juga. Kamu belum pulang?"

"Nunggu hujan reda"

Lalu keduanya kembali diam. Arin menghela napasnya, mengumpulkan seluruh keberaniannya.

"Mark...", panggil Arin.

"Hmm?", Mark menatap lurus pada mata Arin. Mark senang, akhirnya Arin kembali memanggil namanya.

"Aku... aku minta maaf..."

"Aku tahu aku salah. Aku tahu aku jahat. Maaf. Maaf banget. Bahkan aku ga ada hubungin kamu sama sekali. Maaf ya. Maafin aku", ujar Arin.

Mark hanya diam. Masih menatap mata Arin. Ia tahu, pasti kedatangan dirinya membuatnya tidak nyaman.

"Kamu... marah ya sama aku?", tanya Arin, karena Mark tidak memberi respon apapun selain menatap dirinya.

"Engga. Aku ga marah sama kamu, Rin. Tapi....", gantung Mark, membuat Arin tidak jadi bernapas lega.

"Kenapa?"

"Ke..napa?", tanya Arin.

"Kenapa kamu lakukan itu? Kamu... ga nyaman ya sama aku?", tanya Mark.

"Bukan, Mark. Malam itu... ada... ada hal penting lain yang terjadi. Mendadak. Dan bodohnya aku, aku ga ngabarin kamu sama sekali. Maafin"

"Ada atau siapa, Rin?"

"Maksud kamu?"

"Malam itu, yang lebih penting itu, 'siapa' kan? Dia... Jeremy, kan?", tanya Mark.

Blooms in AutumnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang