Malam ini, Gigi memilih untuk menonton televisi sambil memangku satu toples yang berisi kacang mete. Gadis itu menikmati waktu yang ada dengan menonton acara American Music Award yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta nasional. Rumah sepi, sehingga membuat Gigi terpaksa menonton televisi di ruang tengah. Gaga? Lelaki itu sudah kabur semenjak habis maghrib tadi.
Tak lama kemudian, terdengar suara salam dan derap langkah masuk. Gadis itu refleks memutar tubuhnya. Dua orang yang sama-sama suka bepergian dan pacaran layaknya anak muda itu baru pulang setelah seharian penuh pergi ke Bogor.
"Udah pulang?"
Gigi menghentikan kunyahan kacang metenya. "Udah dari tadi siang, Bund. Masa Gigi harus lama-lama di Batam?"
Sementara sang ayah hanya tersenyum sembari menghampiri sang putri yang duduk di single sofa depan televisi. Kemudian mengacak rambut Gigi sambil berlalu. Kebiasaan Gandhi masih sama, yaitu membuat berantakan rambut, baik sang istri maupun sang putri.
"Oleh-oleh," pinta Gigi kemudian sembari menatap bawaan yang dibawa oleh sang bunda. Grahita memilih duduk sebentar di sofa ruang tengah bersama sang putri.
Grahita berdecak. "Udah gede masih minta oleh-oleh kayak bocah. Harusnya kamu yang bawa oleh-oleh."
"Oleh-olehnya pekerjaan."
Belum sempat dijawab oleh Gigi, Grahita sudah menjawab jawaban yang selalu sang putri berikan jika habis pergi dari tugasnya. Hal itu membuat Gigi tertawa.
"Mana Gaga?" tanya Grahita kemudian. Ia melihat rumah yang begitu sepi padahal kedua anaknya berada di rumah.
"Futsal sambil nongkrong katanya."
Grahita mengangguk lalu beranjak dari duduknya dan memilih masuk ke dalam kamar untuk bersih-bersih. Sementara bungkusan yang dibawa Grahita diletakkan di dapur terlebih dahulu. Kebiasaan Gigi memang bertanya oleh-oleh, namun tak akan mengambilnya jika tidak benar-benar ingin.
Gigi lantas kembali fokus dengan acara di televisi. Salah satu musisi favoritnya sedang membawakan tembang andalannya. Gadis itu lalu ikut bernyanyi dengan masih mengunyah kacang metenya.
Setelah sekitar 15 menit berlalu, Gandhi berjalan dari dapur dengan sarung kebesaranya sembari membawa air putih dalam cangkirnya. Lelaki itu langsung duduk di sofa yang panjang dan bergabung dengan sang putri.
"Mbak, ayah bawa ubi loh. Nggak mau?"
"Ubi? Mau, Yah." Tanpa dikomando, Gigi langsung meloncat dari duduknya dan segera pergi ke dapur. Ia berdecak karena sang bunda tak memberitahu dirinya jika membawa ubi. Memang salah dirinya juga tak bertanya oleh-oleh apa yang dibawa oleh sang bunda. Begitu pikirnya.
Gandhi hanya menggeleng melihat tingkah putrinya. Walaupun sudah dewasa, Gigi terkadang masih bersikap layaknya anak kecil. Namanya juga manusia, apalagi gadis itu bertahun-tahun hidup terpisah dengan kedua orang tuanya untuk menuntut ilmu di negeri adidaya itu. Sehingga ketika di rumah, Gigi menunjukkan sikap manja dan ingin dimanja oleh kedua orang tuanya.
Gigi kembali dengan membawa ubi yang diletakkan di atas piring. Tak lupa dengan air putih dalam tumblr yang besar.
"Belum makan malam?" tanya sang ayah ketika melihat Gigi membawa satu piring ubi dan air putih besar.
"Udah kok. Cuma laper lagi."
Gigi kembali duduk di tempatnya. Kacang metenya ia sisihkan terlebih dahulu. Gantian ia makan ubinya.
"Gimana pekerjaan kemarin?" tanya Gandhi kemudian. Sudah menjadi kebiasaan lelaki itu menanyakan apa saja yang dilakoni oleh sang putri.
"Alhamdulillah lancar. Dapat kesempatan juga ikut operasi di laut dan bertemu dengan kapal asing yang melanggar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaladri
ChickLitJaladri. Sang Samudra. Samudra itu luas. Tenang dan menghanyutkan. Mempertemukan dua hal yang bertolak belakang layaknya arus Kuroshio dan Oyashio. Namun samudra juga bisa memisahkan, bahkan bisa saja perpisahan itu tak akan pernah ada lagi yang nam...