Marsh

8K 1.1K 84
                                    

"Wah lagi ngelihatin siapa tuh, Ky?"

Rakyan yang kepergok memandang sebuah foto di gawainya lantas berdiri dengan kaget. Pasalnya ia ketahuan oleh abang asuhnya.

"Pacarmu yo?"

Ivan menepuk bahu Rakyan untuk kembali duduk. Mereka lalu duduk dengan menghadap dermaga. Malam yang cukup dingin, namun beberapa anggota masih sibuk dengan membawa urusan mereka masing-masing.

"Siap, bukan, Bang."

Ivan tampak berdecak. "Udah dikasih tahu kalau berdua nggak perlu sikap formal. Santai aja."

"Tapi, Bang-"

"Halah kamu ngeyel, Ky. Nggak perlu formal-formal. Kecuali kita dalam tugas dan dinas, lo baru boleh hormat ke gue."

Rakyan terdiam. Mereka memang cukup dekat ketika pendidikan dan Rakyan amat menghormati Ivan. Dulu ketika pesiar, mereka sering pergi bersama. Walau bertahun-tahun terpisah dan baru bertemu di tempat dinas yang sama, mereka nyatanya masih tetap akrab seperti dulu.

"Ngomong-ngomong itu pacarmu, Ky?"

Rakyan menggeleng. "Bukan, Bang. Saya jomblo," jawab Rakyan jujur.

Ivan lantas terkekeh dan menepuk pelan bahu Rakyan. "Kamu keren kece gini jomblo? Kok aku nggak percaya, sih?"

"Iya Bang saya jomblo. Kalau saya ada pacar, pasti saya bawa pengajuan." Ivan kembali tergelak.

"Padahal kamu bisa loh dapatin cewe cantik dan kriteria unggul lainnya. Tapi kenapa milih jomblo?"

"Kalau nggak ada yang cocok masa dipaksa, Bang? Saya carinya yang bisa buat saya nyaman dan bisa dijadikan sebagai rumah saya. Kalau cantik dan pintar, itu sudah banyak."

Ivan langsung mengangguk. Memang benar ucapan Rakyan itu.

"Setuju sih. Istri gue juga bukan perempuan yang cantik. Justru biasa-biasa saja. Sampai gue dipertanyakan keahlian gue dalam mencari istri. Gue nyaman sama istri gue kok malah orang lain yang berkomentar."

Rakyan tersenyum tipis. Tak selamanya memang laki-laki mencari seorang perempuan dari segi fisiknya dulu. Beberapa memilih kepribadian sebagai hal yang utama.

"Bang boleh tanya?"

Ivan yang awalnya menatap ke depan kini menatap Rakyan. "Boleh dong. Tanya apa?"

"Mungkin agak privasi. Dan kalau nggak berkenan, boleh nggak dijawab, Bang."

"Apa?"

"Hal yang bikin abang mencintai seorang wanita dan mengajak menikah apa, Bang?"

Ivan mengangkat sebelah alisnya. Namun tak ayal Ivan menjawabnya.

"Cinta itu fitrah, Ky. Kadang kita nggak menyangka aja bisa jatuh cinta sama dia. Dari yang dipertemukan lebih awal atau disaat yang tepat. Dulu gue nggak percaya love first sight. Tapi gue malah nelan ucapan gue sendiri. Gue malah langsung tertarik sama istri gue yang hanya seorang guru PAUD. Bayangin aja dia lagi nenangin anak kecil yang tantrum, gue langsung tertarik. Nggak butuh waktu lama, gue cari kontaknya. Gue ajak kenalan dan gue ngomong blak-blakan pengen kenal. Awalnya dia nanggepin dingin dan nggak peduli. Lalu berbagai cara gue lakuin biar bisa ditanggapi. Dari WA nggak dibales sehari sampai seminggu pun gue tetep gigih. Akhirnya dia mau membuka hatinya dan sampailah gue bisa nikahi dia."

"Gue rasa ketika dalam hidup lo punya visi buat menikah, ketika udah tertarik sama lawan jenis dan yakin, secara alamiah lo pasti pengen ngajak dia ke jenjang yang lebih serius. Itulah alasan gue bisa jatuh cinta dan menikahi seorang perempuan."

JaladriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang