"Pak, Pak."
Rakyan tersentak pelan ketika bu Tun memanggil-manggil dirinya. Ia ketiduran di sofa ruangan rawat inap Gigi dengan posisi duduk.
"Saya izin pulang ya, Pak. Anak saya yang paling kecil baru pulang dari Purwokerto."
Rakyan yang masih mengumpulkan nyawanya itu berusaha duduk dengan benar.
"Iya, Bu. Terima kasih banyak udah bantu saya."
Rakyan lalu merogoh kantong celananya untuk mengambil dompet. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang.
"Maaf Bu, saya tidak bisa mengantar ibu pulang. Ini ada ongkos buat naik taksi."
Rakyan memberikan bu Tun sejumlah uang. Ia sebenarnya tak tega membiarkan perempuan paruh baya itu pulang sendiri. Namun ia tak bisa membiarkan Gigi yang tengah beristirahat itu sendirian di rumah sakit.
Bu Tun tampak sungkan karena sejumlah uang yang diberikan oleh Rakyan.
"Eh nggak usah, Pak. Saya bisa naik ojek sendiri."
Rakyan menggeleng. "Naik taksi aja ya, Bu. Saya pesenin sekarang, ya."
Bu Tun menggeleng. "Tidak usah, Pak. Saya bisa pesan sendiri." Bu Tun akhirnya menerima uang tersebut.
"Terima kasih banyak ya, Pak. Maaf saya tidak bisa membantu banyak. Semoga mbak Gigi cepat sembuh."
Rakyan tersenyum tipis. "Sama-sama. Aamiin."
Lalu bu Tun pamit untuk pulang dan diantar sampai depan ruangan Gigi. Selepas itu, Rakyan kembali masuk ke dalam ruangan Gigi. Sang istri tengah tertidur setelah sempat demam dan muntah-muntah tadi.
Rakyan menatap jam dinding rumah sakit. Ternyata sudah menunjukkan pukul 4 sore. Segera ia melaksanakan shalat ashar sembari menunggu sang ibu mengantarkan pakaian untuk mereka.
Pukul 16.30 WIB, bu Erni datang ke rumah sakit dengan membawa tas lumayan besar. Beruntung Gigi dan Rakyan meninggalkan sejumlah pakaian di rumah ibu sehingga bu Erni dapat menghemat waktu dan secepatnya pergi ke rumah sakit.
"Ya Allah, mantu ibu."
Bu Erni mengelus dahi Gigi yang tampak berkeringat. Demam Gigi perlahan turun setelah diberikan obat.
"Kok bisa gini, Mas? Kemarin Gigi masih sehat-sehat aja kenapa sekarang begini, Mas?"
Bu Erni tak tega melihat Gigi yang tengah tertidur dengan wajah pucat.
"Kemarin sehabis ke rumah ibu, kami mampir ke dokter kandungan. Kami bertanya mengenai perjalanan ke Belanda. Dokter mengatakan kalau Gigi sementara waktu tidak boleh perjalanan jauh karena usia kandungannya yang masih muda. Setelah itu, Gigi murung sampai tadi malam. Puncaknya pagi tadi, Gigi nggak enak badan dan terus muntah-muntah. Raky sebenarnya nggak tega meninggalkan Gigi kerja. Dan benar saja, jam 10 pagi Raky ditelepon bu Tun kalau Gigi muntah-muntah terus."
Bu Erni melihat Gigi dengan wajah prihatin. Tangannya kembali mengusap-usap dahi Gigi.
"Kamu udah telepon orang tuanya Gigi?"
Rakyan mengangguk. "Udah, Bu. Kayaknya nggak bisa langsung pulang karena ayah sama bunda baru aja sampai di Belanda."
"Nggak apa-apa. Ada ibu di sini. Lagian kejadian ini juga nggak bisa diprediksi sebelumnya. Yang penting semuanya sehat dulu."
"Kamu ganti baju dulu, Mas. Biar ibu yang jaga Gigi. Oh iya, kamu udah makan belum?" sambung bu Erni.
"Udah dibeliin bu Tun tapi belum Raky sentuh. Nggak nafsu makan lihat Gigi sakit."

KAMU SEDANG MEMBACA
Jaladri
Chick-LitJaladri. Sang Samudra. Samudra itu luas. Tenang dan menghanyutkan. Mempertemukan dua hal yang bertolak belakang layaknya arus Kuroshio dan Oyashio. Namun samudra juga bisa memisahkan, bahkan bisa saja perpisahan itu tak akan pernah ada lagi yang nam...