Capillary Waves

7.5K 1.1K 156
                                    

Jakarta sehabis diguyur hujan adalah waktu yang tepat untuk kembali bertapa di dalam kamar sembari streaming film atau drama terbaru. Begitulah yang Gigi pikirkan semenjak sore tadi ketika perlahan tetes air hasil kondensasi itu turun membasahi bumi. Namun mendadak rencananya itu hancur tatkala ia mendapat permintaan khusus dari sang eyang untuk datang ke acara ulang tahun perusahaan. Biasanya ia tak ikut dalam urusan bisnis itu. Paling hanya Gaga serta orang tuanya saja yang ikut dan tentu hal itu semenjak sang ayah pensiun. Namun kali ini ia mendadak mendapatkan undangan tersebut. 

"Kira-kira apa di benak eyang sehingga gue harus repot-repot ikut?"

Gaga yang tengah menyetir hanya terkekeh pelan menanggapi pertanyaan sang kakak. "Paling lo mau dikenalin sama pengusaha muda kaya raya yang hartanya nggak habis sepuluh turunan."

Gigi langsung saja melirik sengit sang adik. "Gue harap lo juga berani ngomong gitu di depan Raky."

Tawa Gaga seketika pecah. Rasanya menyenangkan sekali ketika ia mengerjai sang kakak. 

"Gue salah ngambil lawan. Sekali ngusik singa satu, yang datang satu batalyon yang isinya ikan paus. Gue mati sih habis itu."

"Lagipula nggak ada pengaruhnya gue datang ke sana. Paling cuma basa basi doang. Enakan gue streaming drama sambil skincare-an."

Tangan kiri Gaga yang tak memegang stir, langsung saja menyentil dahi Gigi. "Rebahan terus! Sekali-kali lihat juga dunia bisnis, Mbak. Lagian acara ini cuma makan doang. Habis itu lo bisa balik dan skincare-an."

Gigi berdecak pelan. "Gue nggak suka, Ga. Ish! Kalian suka banget maksa!"

"Bukan maksa, tapi sudah jadi kewajiban. Mau nggak mau harus mau. Setiap hari lo juga menghadapi hal ini. Mau mengelak gimana?"

Gigi mengembuskan napasnya perlahan dengan mata menatap jalanan yang basah akibat hujan tadi. 

"Gue kadang berpikir, hidup sebagai anak orang berada juga ada beban tersendiri. Hah! Dasar manusia."

Gaga hanya berdecak. Gigi memang kerap kali berbicara yang kadang membuat dirinya kesusahan atau pun malas membalasnya. 

Tak terasa mereka melewati perjalanan dengan kesunyian. Mereka akhirnya sampai di sebuah hotel milik pribadi yang kerap disewa untuk pertemuan dan lain-lain. 

"Kata lo mah hidup harus disyukuri, Mbak. Semua itu ada konsekuensinya. Lo yang sering ceramah eh malah kendor begini," ujar Gaga kemudian setelah tadi tak merespon ucapan Gigi. 

"Gue dilamar sama Raky," ujar Gigi tiba-tiba pada Gaga yang hendak membuka pintu mobilnya. Namun segera ia urungkan karena ucapan Gigi barusan. 

"Bagus dong. Gue kira selama ini dia yang nggak berani lamar lo, eh tapi ternyata lo-nya yang belum mau. Apa yang lo raguin Mbak? Karena dia perwira?"

Gigi menggeleng pelan dengan tatapan ke depan. "Bahkan ayah pun sama ketika menikahi bunda. Dari kecil kita pun menjalani hidup sebagai anak tentara. Bukan masalah profesi dia, Ga. Tapi ada hal mengganjal yang berusaha gue tepis perlahan. Menikah itu bukan sesuatu yang ayok sekarang kita nikah. Nggak. Nggak semudah itu. Hmm ya sudahlah. Gue takut sakit kepala gue datang. Ayo turun."

Gaga seketika berdecak. "Lo mah kalau ada masalah lo telen sendiri. Berasa nggak guna gue jadi adek lo."

Gigi seketika menoleh ke arah Gaga yang menatapnya serius. Hal itu membuat Gigi perlahan tersenyum kecil. Tangannya terulur untuk mengelus rambut Gaga yang dikuncir rapi karena gondrong itu. 

"Habis acara gue mau deep talk sama lo. Jangan ngerokok," ujar Gigi kemudian dan setelah itu, gadis itu langsung turun dari mobil.

Gaga kembali mendengus. Namun lelaki itu tak menyahuti ucapan Gigi dan memilih turun dari mobil juga. 

JaladriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang