Destructive Waves

8.1K 1.2K 114
                                        

Rakyan tampak merapikan kembali bajunya yang sudah rapi itu. Entah mengapa ia masih merasa gugup ketika tadi sekitar pukul 11.00 WIB, ia mendapatkan pesan dari ayah Gigi. Beruntung ia sudah bangun karena semalam tak bisa tidur dan baru tidur sekitar pukul 09.00 WIB. Sisa kantuk yang sempat menyerangnya tadi, kini mendadak hilang setelah sampai di sebuah restoran yang menjadi tempat janjian mereka.

Pukul 13.55 WIB, Gandhi tampak berjalan ke arah Rakyan. Langsung saja lelaki itu bangkit dari duduknya guna menyambut Gandhi.

"Selamat siang, Om," sapa Rakyan dengan sopan. Laki-laki itu langsung mencium tangan kanan Gandhi seperti biasa.

Gandhi tersenyum dan mengangguk. Lalu mereka sama-sama duduk.

"Sudah lama menunggu?" tanya Gandhi kemudian.

"Siap, tidak."

"Hilangkan sikap militer saat berhadapan dengan saya. Lagipula saya sudah pensiun. Tidak perlu."

Rakyan lantas tersenyum menanggapi ucapan Gandhi. "Baik, Om."

"Kamu mau pesen apa? Tenang, di sini semua menunya enak. Saya sering datang bersama dengan istri saya dan keluarga. Memang agak mengarah ke resto orang tua, ya? Padahal di sini buat kencan juga enak kok."

Rakyan terkekeh pelan dengan ucapan Gandhi itu. Walaupun mungkin Gandhi terlihat serius, namun pria itu juga tak semenakutkan yang dibayangkan.

"Gigi juga suka tempat ini, Om?"

"Anak itu saya rasa tidak pernah menolak dengan apa yang namanya makanan. Prinsipnya yang penting makanannya enak." Rakyan langsung saja tersenyum lebar. Benar, Gigi adalah tipe yang doyan segalanya asalkan enak. Gadis itu bahkan menerima makanan apa saja dan tidak pilih-pilih tempat.

Lalu seorang pelayan datang dan Gandhi langsung mengajak Rakyan untuk memesan makanan. Setelah memesan, Gandhi tampak menatap Rakyan dengan pandangan lumayan serius.

"Bagaimana dengan operasi kemarin?"

Rakyan agak kaget mendengar pertanyaan Gandhi yang menanyakan hal itu.

"Saya tahu dari Gigi kemarin. Tenang, saya sudah tidak ada lagi intervensi di dalam militer."

Baru selanjutnya Rakyan mengerti. Ia kira ayah dari Gigi itu memata-matainya secara diam-diam. Tentu hal ini sangat mudah bagi Gandhi mengingat jabatan apa yang sebelumnya diduduki sebelum pensiun. Gandhi juga memiliki banyak kenalan. Bukan hanya dari sesama matranya saja, namun dari matra lain, dan mungkin dari luar profesinya.

"Alhamdulillah lancar, Om. Walaupun kami harus memperpanjang operasi yang sebelumnya sudah dirancang."

"Memang seperti itulah yang namanya operasi. Kita tidak bisa memprediksi kapan operasi itu bisa selesai cepat dan segera pulang ke keluarga masing-masing. Tak jarang perintah memperpanjang operasi karena satu dan lain sebab kerap terjadi. Kita sebagai prajurit harus tetap siap menerima perintah dan menjalankan perintah itu dengan sebaik mungkin."

"Siap, Om."

Gandhi mengangguk. Lalu Gandhi tersenyum tipis. "Siap berkorban nyawa?"

Rakyan langsung saja menatap Gandhi dengan pandangan berpikir. Namun dengan sekali tarikan napas, laki-laki itu perlahan mengangguk. 

"Sumpah saya terhadap negara, sama saja dengan kontrak nyawa, Om. Artinya saya harus siap dengan konsekuensi tugas yang saya emban. Namun saya selalu berdoa agar saya diberi keselamatan dalam bertugas. Saya masih manusia biasa yang ingin selamat dari keadaan darurat yang mengancam nyawa saya. Hal ini karena masih ada keluarga yang menanti saya di rumah. Saya juga milik keluarga saya."

JaladriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang