Cove

7.6K 1.1K 114
                                    

Gigi terkekeh pelan ketika melihat bu Erni yang tampak antusias mencoba jaket rajut hadiah Rakyan. Bak seperti gadis yang mendapatkan barang dari sang kekasih, itulah bu Erni saat ini. Perempuan itu tampak begitu senang hingga mencoba dan berkaca berulang kali.

Sementara itu, Rakyan hanya menatap Gigi yang sedari tadi tak melepaskan pandangannya dari sang ibunda. Gadis itu bahkan terlihat sederhana dengan tawa kecilnya yang manis.

"Saya takut," ucap Rakyan pelan kemudian. Gigi seketika melarikan pandangannya pada Rakyan.

"Senyum ibu terasa mahal, padahal ibu adalah orang yang ramah. Entah mengapa akhir-akhir ini saya merasa takut."

Gigi menatap lelaki di depannya itu. Mereka berdua duduk berhadapan di sebuah meja dan kursi tepat di sebelah jendala yang langsung menghadap ke samping rumah yang terdapat pohon mangganya. Angin bisa masuk dengan leluasa sehingga tak butuh kipas angin atau pun AC untuk membuat rumah sejuk.

"Rasa takut dalam diri manusia itu wajar. Takut itu alamiah. Ketika kita melangkah ke depan dengan konsekuensi besar, takut itu datang tanpa diundang. Tapi kalau tidak melangkah, kita tidak ada perubahan. Sama halnya ketakutanmu. Selama ada kesempatan untuk membuat ibu tetap bahagia dan tersenyum, maka lakukanlah."

Rakyan terdiam mendengar ucapan Gigi. Gadis yang terlihat cantik dengan pashmina hitam itu tampak tenang dan bijaksana kali ini. Apa mungkin ia melewatkan sesuatu dari Gigi?

"Ngomong-ngomong, kenal Raras udah lama?" tanya Rakyan mengganti topik pembicaraan.

Gigi mengangguk. "Sejak kelas 1 SMP. Kebetulan tiga tahun sekelas terus walaupun ada sistem acak. Bahkan dia teman saya yang pertama ketika baru masuk."

Rakyan mengangguk paham. Lalu tatapannya mengarah pada sang ibu yang kini melipat kembali jaket rajut pemberiannya.

"Pas banget, Mas. Terima kasih banyak, ya," tutur bu Erni pada Rakyan seraya tersenyum lebar.

Rakyan ikut tersenyum. "Ibu nggak perlu bilang terima kasih lagi, ya? Itu hadiah ibu yang harus ibu pakai pokoknya sebagai ganti terima kasih."

Bu Erni langsung mengangguk. "Pasti. Ibu pasti memakainya."

Lalu pandangan ibu mengarah ke depan seperti celingukan mencari seseorang. "Aduh bapak kok lama ya ke warungnya cing Dul? Padahal ibu udah laper."

"Pesen apa Bu emangnya?"

Bu Erni kini menatap Gigi. "Pesen soto Betawi. Ibu nggak bisa buat soto seenak cing Dul. Makanya hari ini ibu mau makan bareng kalian dengan soto Betawinya cing Dul. Ini paling enak di kota ini loh."

Gigi terkekeh pelan. Raut bahagia bu Erni begitu kentara. "Ya sudah. Ibu mau buat es buah aja."

Gigi seketika beranjak dari duduknya. "Gigi bantu ya, Bu?"

Bu Erni langsung mencegah. "Eh nggak usah. Kamu di sini aja. Biar ibu yang bikin."

"Tapi Bu-"

Bu Erni menggeleng. "Nggak apa-apa. Kamu di sini aja biar ibu yang buat, ya?"

Lalu bu Erni langsung pergi ke dapur. Sedangkan Gigi kembali duduk. Gadis itu lantas menatap pohon mangga di samping rumah bu Erni.

"Dulu kuliah jurusan apa?" tanya Rakyan tiba-tiba.

Gigi lalu menatap Rakyan. "Oseanografi."

"Oseanografi bisa di perikanan, ya?"

"Bisa. Dulu sempat ikut program pengelolaan dan pengolahan sumber daya laut."

"Suka laut?" Gigi langsung mengangguk.

"Mungkin pertanyaaan saya klise banget bahkan nggak penting. Tapi apa yang buat kamu mencintai laut? Selama ini banyak orang bahkan perempuan yang enggan peduli dengan laut."

JaladriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang