Sebuah restoran yang berada di kawasan Palmerah, Jakarta Barat, tampak begitu elegan dengan mengusung tema adat Jawa. Bahkan suara gamelan diputar sehingga menambah nuansa Jawa klasik yang begitu kental.
Akan tetapi, dibalik itu semua, ada dua manusia berbeda generasi yang duduk berhadapan dengan aura yang dingin. Dua generasi itu memiliki keras kepala yang sama dan tentunya punya ambisi yang berbeda.
"Kenapa nggak pulang ke Jogja?" tanya laki-laki yang mengenakan batik lengan panjang. Raut wajahnya tegas dengan kumis agak tebal. Pandangannya menatap lurus sang putra.
"Buat apa saya pulang? Yang jadi rumah juga ada di Jakarta," jawab Rakyan singkat dan jelas.
Laki-laki bernama Wiranegara itu semakin menatap sang putra serius. Tujuan utama ke Jakarta adalah untuk menangani masalah pekerjaan dan juga mengurusi sang putra yang tak kunjung pulang.
"Kamu punya keluarga di Jogja yang mana garis keturunannya lebih jelas, Le!"
Rakyan menatap sang ayah. "Keluarga? Mana? Bukankah ayah lebih suka saya nggak pulang? Ingat waktu Raky lulus AAL? Ayah bilang apa? Sekalian nggak pulang aja, tho?"
Wiranegara mengepalkan tangannya kuat. Ia tak suka anak laki-lakinya itu menentang ucapannya. Baginya, Rakyan harus mentaati setiap ucapan yang terlontar dari mulutnya.
"Saya tidak percaya jika saya punya ayah yang tidak bisa memberikan peran yang nyata. Selama ini apa? Selalu menuntut, bukan?"
Wiranegara menatap tajam sang putra. "Di mana sopan santunmu?! Di mana jati dirimu sebagai laki-laki ningrat?! Apa kamu lupa siapa leluhurmu?"
Beruntung mereka berada di restoran. Tak bisa dibayangkan jika mereka berada di rumah. Suara Wiranegara pasti akan menggelegar keras.
Rakyan tersenyum tipis. Ayahnya masih sama saja, keras kepala dan kesombongannya tidak pernah terkikis sedikit pun.
"Kenapa harus bawa leluhur, Yah? Saya hanya berharap ayah bisa bersikap bijak. Selama ini yang membuat semuanya berantakan siapa? Siapa yang memisahkan saya dengan ibu saya? Siapa yang mengatur kehidupan saya? Ayah, bukan? Sudah saatnya saya menentukan jalan hidup saya sendiri, tanpa bayang-bayang ayah ataupun keluarga besar."
Wiranegara mengepalkan tangannya semakin kuat. Jika bukan tempat umum, ia sudah menampar habis Rakyan yang dirasa sangat kurang ajar itu.
"Jaga sikap kamu! Semua ada alasannya dan tidak perlu kamu tahu. Tugasmu hanya berbakti dengan orang tua."
Rakyan tersenyum miring. "Berbakti kepada orang tua? Bentuk baktinya seperti apa yang ayah harapkan? Menuruti setiap ucapan? Bukankah saya punya kendali atas diri saya, nggih?"
Wiranegara memejamkan matanya sejenak. Ia tak habis pikir dengan putra sulungnya yang berani secara terang-terangan menentang dirinya. Ia salah memberi satu celah pada Rakyan dengan membiarkan Rakyan mengejar impiannya saat ini. Seharusnya saat itu ia menghentikan langkah Rakyan bagaimana pun caranya dan mengirim sang putra untuk belajar di Brisbane seraya menuruti setiap ucapannya.
"Yah, saya ini putra ayah, tidak seharusnya ditekan. Saya bahkan membiarkan alam bawah sadar saya untuk membunuh rasa sakit di masa lalu agar tidak semakin membenci semuanya. Namun sampai saya sebesar ini, tindakan ayah yang tidak bisa menghargai saya sebagai anak masih terus saja terjadi. Kenapa? Apakah ayah tidak merasa bersalah sudah membuat semuanya berantakan?"
"Itu semua urusanku Rakyan! Itu yang terbaik untuk kamu. Cukup kamu turuti kata ayah saja!"
"Ayah harap satu bulan lagi kamu bisa mengambil cuti. Sudah saatnya kamu bertemu dengan calon istrimu," sambung Wiranegara dengan tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaladri
ChickLitJaladri. Sang Samudra. Samudra itu luas. Tenang dan menghanyutkan. Mempertemukan dua hal yang bertolak belakang layaknya arus Kuroshio dan Oyashio. Namun samudra juga bisa memisahkan, bahkan bisa saja perpisahan itu tak akan pernah ada lagi yang nam...