Continental Rise

7.5K 1.2K 176
                                    

Gigi melirik Rakyan yang sedari tadi tak kunjung berbicara. Sedangkan lelaki itu juga sama melirik Gigi sekilas. Jadilah mereka saling lirik-melirik.

"Kayaknya aku lebih baik ngasih makan cupang aja, deh, daripada duduk bareng patung gini," kata Gigi menyindir Rakyan.

Gigi hendak bangkit dari duduknya, namun segera dicegah oleh Rakyan.

"Jangan ngambek dulu, Gi. Aku lagi bingung mau ngomong apa."

"Ngambek? Kita cuma diem-dieman selama sepuluh menit, loh. Wasting time banget!"

"Iya-iya, aku salah."

Gigi menatap Rakyan kesal. "Siapa yang bilang kamu salah, huh? Bikin fitnah aja."

Rakyan berdecak pelan. Tampaknya ia salah berucap. Gigi sedang dalam mode marah dan senggol bacok. Entahlah, gadis itu sedikit moody semenjak Rakyan pulang dari Jogja.

"Iya, Gi. Minta maaf. Kita nggak ada yang salah, oke?"

Rakyan berusaha mengalah. Daripada ia yang kena marah Gigi? Lebih baik ia bersabar sambil berdoa semoga mood Gigi yang tengah buruk itu segera mereda.

Gigi kembali menatap lurus ke depan. Saat ini mereka tengah berada di salah satu tempat yang berlokasi di dekat pantai. Suasananya memang romantis, tapi berbeda dengan pasangan itu. Mereka malah cek-cok tak jelas.

"Kamu marah karena aku gagal kemarin?"

Rakyan bertanya dengan pelan. Pertanyaan tersebut sebenarnya mengandung kesedihan baginya. Ia merasa tak berhasil dan malah membuat Gigi terbebani.

Gigi tampak mengambil napas dengan teratur. Sebenarnya ia juga tak tahu mengapa ia kesal kepada Rakyan. Padahal masalah ini harus dibicarakan dengan sebaik mungkin.

"Gagal, jatuh, bangkit, gagal, jatuh, dan bangkit. Kadang aku berharap hidup nggak ada gagalnya dan mulus terus kayak jalan bebas hambatan. Tapi aku salah, layaknya orang mendaki, harus tertatih-tatih naiknya. Kadang harus jatuh ketika menginjak kerikil. Lutut terasa pegal dan lelah. Jadi kayaknya aku malu kalau egois dan marah ke kamu, Ky."

Perlahan Rakyan tersenyum. Walaupun mungkin Gigi punya tingkat mood marah yang buruk, tapi gadis itu bisa mengimbanginya dengan baik lewat sikap bijaksananya.

"Seharusnya aku lebih berusaha lagi, Gi. Tapi ternyata nggak semudah itu. Ayah tetap kekeh dan nggak mau perjodohan itu dibatalkan."

Gigi mengembuskan napasnya perlahan. Ia tahu bahwa usaha mereka kali ini berat. Bahkan hasilnya pun tak bisa diprediksi dengan baik.

"Ya udah, mulai besok kita berjuangnya bareng. Kamu nggak perlu memikulnya sendiri. Aku marah karena kamu selalu mencoba untuk menyelesaikan sendiri padahal kamu tahu ini bukan masalah kamu saja. Restu itu bukan sepihak saja, Raky. Dari kemarin kamu selalu menyalahkan diri kamu sendiri. Akhirnya aku juga uring-uringan nggak jelas."

Pandangan Rakyan jatuh ke bawah. Ucapan Gigi lagi-lagi benar. Pantas saja gadis itu marah kepadanya. Ternyata Gigi juga sama pusing sepertinya.

"Aku takut membebani kamu, Gi. Kamu udah sibuk dan punya kegiatan yang banyak. Belum lagi ini adalah masalah internal yang datang dari keluargku. Otomatis aku berpikirnya ini adalah masalahku."

Gigi menatap Rakyan. "Terus apa gunanya pasangan? Sebagai pajangan doang? Jika kamu prinsipnya kayak gini, mending dari awal kita enggak aja, Ky. Kamu tahu ketika pasangan kita sedang nggak baik-baik saja, tetapi enggan berbagi? Itu menyakitkan, Ky. Kita seakan gak dianggap. Kamu cukup jujur aja, bilang kamu lagi ada sesuatu yang mengganjal. Jika kamu diam, salah paham itu akan muncul tanpa bisa dibendung. Jika kamu mikirnya yang berhubungan dengan hubungan kita, tapi datangnya dari kamu dan bagimu untuk kamu saja, mending kita nggak terus aja."

JaladriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang