Sandbar

8.2K 1.1K 116
                                    

"Suka genre musik apa?" tanya Rakyan tiba-tiba saat mereka sama-sama telah menyelesaikan makannya. Gantian Rakyan menikmati wedang ronde khas angkringan. Namun sayang, Gigi hanya bisa minum teh hangat.

"Semuanya suka. Asal nyaman masuk ke telinga."

"Termasuk rock?"

"Nggak semua. Palingan beberapa doang. Kenapa?"

"Jazz suka?" Gigi langsung mengangguk.

"Ya udah nanti temenin saya nonton konser Jazz minggu depan."

Gigi lantas menatap Rakyan dengan seksama. Laki-laki itu mengajaknya menonton konser? Apakah ia tak salah dengar?

"Tumben ngajak saya? Nggak ngajak pacar?" balas Gigi.

"Nggak ada," jawab Rakyan singkat.

Gigi mengangkat alisnya. "Masa? Aku nggak percaya."

"Ngapain saya bohong? Kalau saya ada pacar,  nggak bakal ngajak kamu."

"Oh jadinya aku cuma cadangan dong," balas Gigi cepat dengan mata menyipit.

Rakyan seketika terkesiap pelan. "Nggak. Siapa yang bilang kamu cadangan? Saya memang nggak ada temen. Teman saya sudah saya tawarin tetapi mereka tidak bisa. Terus saya menawari kamu, mungkin saja kamu mau."

"Gimana? Mau nggak?" tanya Rakyan lagi setelah Gigi tak kunjung menjawab.

Gigi hanya bergumam sembari mengaduk teh hangatnya tanpa arah yang jelas. Hal itu cukup menjadi jawaban Rakyan. Ia senang. Akhirnya ia bisa pergi.

"Saya jemput habis maghrib sabtu besok."

"Beneran?" tanya Gigi kembali.

"Beneran gimana?"

"Beneran ngajak aku? Aneh aja rasanya," jujur gadis itu.

"Nggak mungkin saya ajak ibu, Gi. Ini pun buat hiburan sebelum saya pergi latihan selama sebulan."

"Latihan? Latihan tempur?"

Rakyan mengangguk. "Semacam itu. But this is a secret."

Gigi mengangguk pelan. Dulu juga ayahnya sering ikut memantau latihan khusus yang bahkan bundanya saja tidak tahu jenis latihan itu karena amat rahasia. Paling hanya dikasih tahu jika ada latihan dengan tenggat waktu beberapa hari, minggu, atau bulan saja.

Acara makan malam di angkringan telah selesai. Saat Gigi hendak membayar, justru sudah keduluan oleh Rakyan. Tanpa bicara, lelaki itu meminta sang penjual untuk menghitung semua makan malam mereka.

"Kok kamu yang bayarin, sih?" protes Gigi seperti biasa.

"Sekalian," sahut Rakyan santai. Lalu laki-laki itu bangkit dan keluar dari angkringan dengan diikuti Gigi.

"Nggak bisa gitu dong," protes Gigi lagi pada Rakyan yang berjalan menuju mobilnya.

Rakyan lantas berbalik. Laki-laki itu lalu menghela napasnya. "Anggap aja kita jajan dan saya yang bayarin. Beres, kan? Yuk jangan diperpanjang," ujar lelaki itu dengan sabar.

Gigi berdecak pelan. Ia memang anti makan dibayarkan. Selalu saja orang-orang memaksa dirinya ketika dibayarkan. Dan selalu pula Gigi mengalah dan rasanya tak nyaman.

"Terima kasih," ulcap Gigi akhirnya. Rakyan mengangguk.

"Saya antar kamu pulang," ucapnya kemudian.

"Gimana caranya? Kita 'kan pakai mobil sendiri-sendiri," ujar gadis itu dengan cepat.

"Saya di belakang mobil kamu. Kamu di depan. Ini sudah malam, saya nggak mau kamu pulang sendirian."

JaladriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang