Continental Slope

7.1K 1.2K 143
                                    

"Mas terpaksa ya pulang ke Jogja?"

Rakyan yang sedang menatap ke depan, kini menoleh ke arah Rama yang menyetir mobil. Baru saja mereka meninggalkan bandara Adisutjipto, Daerah Istimewa Yogyakarta. Rakyan tiba di bandara sekitar pukul 20.00 WIB.

"Kamu juga terpaksa pulang, kan?"

Rama tersenyum di balik kemudinya. "Kalau nggak disuruh ibu balik, Rama juga males."

Rakyan tersenyum tipis. "Kalau kamu nyaman di sana, nggak perlu balik ke Indonesia."

Ucapan Rakyan barusan membuat Rama tertawa pelan. "Aku nggak yakin bakal bisa, Mas. Libur kuliah aja harus pulang, padahal aku di sini juga sambil kerja."

"Lanjut S2 aja sekalian di sana. Kalau bisa sampai S3. Kalau ada kesempatan jangan sia-siakan, masalah ayah, mas bisa atasi."

Rama terdiam. Napasnya ia embuskan perlahan. "Kalau ayah nggak merestui, ibu pun nggak merestui, Mas."

"Nggak bisa. Anaknya sekolah tinggi dan merangkai mimpinya kok dihalangin. Intinya kamu fokus sama pendidikan dan pekerjaanmu, Ram."

Rama perlahan mengangguk. "Iya, Mas. Rama cuma punya Mas yang bisa bantu kita."

"Harusnya kita bisa. Selama ini kalian aslinya nggak nyaman, tho? Emang sudah waktunya kita menyadarkan ayah mana yang baik dan mana yang buruk. Nggak selamanya orang tua itu selalu benar. Memang ridho orang tua adalah ridho Tuhan. Namun jika sudah merampas hak kita, harusnya salah kaprah itu segera dibenahi."

“Tapi beliau selalu menyindir tata krama, Mas. Menyanggah pendapat beliau seakan menentang titah Ndalem. Kadang aku suka heran, kenapa ayah punya sifat bebal kayak gitu? Berbeda dengan saudara ayah lainnya yang lebih terbuka dan tidak kaku."

Rakyan tersenyum tipis. "Kalau nggak gitu, bukan ayah, Ram."

Pemuda berusia 22 tahun itu tertawa pelan. Kadang mereka menertawakan kehidupan yang serba diatur oleh sang ayah.

Tak terasa, mereka sampai di sebuah rumah bergaya Joglo Yogyakarta. Rakyan dan Rama turun dari mobil dan segera masuk ke dalam rumah.

"Mas Kyky!"

Seorang remaja perempuan berusia 16 tahun berjalan cepat menghampiri Rakyan. Gadis itu langsung memeluk sang mas dengan erat.

Rakyan tersenyum dan membalas dekapan sang adik. "Raiya kangen Mas Kyky."

Rakyan menunduk menatap adiknya yang tingginya hanya sebatas dagunya. Tangannya bergerak mengacak rambut Raiya yang tergerai indah.

"Mas juga kangen sama, Raiya. Gimana sekolahnya?"

Raiya tersenyum lebar. "Lancar dong. Kemarin Raiya lolos seleksi panahan loh, Mas. Bulan depan mau lomba ke Jakarta."

Rakyan kembali tersenyum. "Wah, hebat banget adik mas ini. Semoga lancar, ya. Nanti mas kirim hadiah ke kamu."

Raiya tersenyum lebar. "Terima kasih banyak, Mas. Sayang Mas Kyky banyak-banyak, deh."

Rakyan berdecak pelan. "Kalau tahu gitu mas nggak perlu kasih kamu hadiah," ucapnya sambil berlalu masuk ke dalam ruang tengah. Sedangkan gadis manis itu menekuk wajahnya.

“Mass…” rengek Raiya dan Rakyan hanya menggelengkan kepalanya pelan. Raiya si bungsu yang manja, tapi berbakat.

Rakyan melihat sang ayah sedang duduk di ruang tengah. Ia menghampiri sang ayah dan mencium punggung tangan kanannya. Walaupun hubungan mereka tidak akur, namun Rakyan masih menghormati ayahnya dengan baik.

"Besok keluarga dari kangmas Wijayakusuma akan datang dan makan malam ke sini, sekalian kamu kenalan dengan Lalita."

Rakyan memejamkan matanya sebentar, berusaha meredam rasa kesalnya.

JaladriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang