Wind Waves

7.8K 1.2K 144
                                    

"Niat banget eyang nyiapin ini semua."

Gigi yang tengah bersiap hanya melirik sekilas sang adik yang berjalan ke arahnya dan sudah rapi dengan tuxedonya. Sedangkan Gigi masih merapikan hijab yang ia kenakan.

"Jangan-jangan kalian memata-matai gue perihal ini."

"Nggak lah! Kayak nggak ada kerjaan aja kita mata-matai kalian. Tapi kalau eyang, gue nggak berani jamin, sih," sahut Gaga kemudian.

"Gue inget zaman lo dibully. Nggak lama setelah kita tahu, orang-orang yang bully lo, langsung pada out semua. Gue rasa ini kerjaan eyang karena baik ayah atau pun bunda lebih milih perhatian ke lo daripada ngurusin orang yang bully lo itu."

"Iya juga ya. Kok gue nggak kepikiran sampai segitu. Haish! Gue takut respon sana merasa direndahkan sama kita."

Gaga bangkit dari duduknya yang sebelumnya duduk di atas ranjang Gigi. Laki-laki itu menghampiri Gigi yang sudah selesai bersiap-siap itu.

"Menurut gue nggak. Kita sekedar saling berkenalan. Lagipula calon ayah mertua lo 'kan agak gimana dengan hubungan kalian. Mungkin dengan pertemuan ini, restu kalian bakal lebih lancar dan beliau sepenuhnya ikhlas."

"Semoga aja begitu. Agak kaget kemarin diberi tahu kalau ayah Raky mau ke Jakarta untuk acara lamaran ini dan sekarang mau diajak makan malam."

Gaga lantas menepuk bahu Gigi. "Saat ini adalah kesempatan lo buat mengambil hatinya. Ibarat memancing, ini adalah pelemparan umpan, lalu jika umpan tepat, hap, target bisa didapat."

Gigi langsung menatap Gaga dengan pandangan anehnya. Namun Gaga justru terkekeh pelan. Tangannya langsung mengusap kepala Gigi yang terbalut pashmina berwarna nude.

"Nggak ada sejarahnya yang namanya Gigi akan menyerah begitu saja. Hilangkan semua pikiran buruk lo. Hadapi dengan cara anggun. Bukannya lo jago bikin orang lain kicep dengan ucapan lo itu?" Gaga tersenyum dengan menaik-turunkan alisnya. Sedangkan Gigi seketika menatap malas.

"Ayok keluar," ajak Gaga kemudian.

Selanjutnya, mereka keluar dari kamar Gigi dan menuju ruang makan yang sudah disulap untuk acara makan malam. Gigi sempat mengecek gawainya dan katanya Rakyan beserta keluarga akan sampai sekitar lima menit lagi.

Selanjutnya, Rakyan beserta ayah dan sang ibu datang. Mereka langsung disambut dengan begitu ramah oleh keluarga Gigi.

"Selamat datang Pak Wira," ucap Gandhi dengan senyum ramahnya. Di sampingnya ada Grahita dan Sadewa. Sedangkan Gigi dan Gaga ada di belakang mereka.

Wiranegara yang tak banyak menunjukkan ekspresi itu langsung mengambil sikap sama-sama menghormati. Terlihat senyum samar berada di bibirnya.

"Bu Erni, lama kita tidak berjumpa," sapa Grahita dengan senyum yang lebar. Bu Erni pun sama. Lalu mereka berpelukan, layaknya teman lama yang baru bertemu kembali.

"Bu Grahita masih cantik seperti dulu," puji bu Erni dan Grahita tertawa pelan.

Lalu mereka semua menuju ruang makan yang telah disiapkan. Ada berbagai jenis makanan yang terhidang di atas meja yang besar itu.

Gigi melirik Rakyan yang terlihat tenang. Ia juga mengecek gawainya apakah tadi ia dikirimi pesan apa tidak. Namun tak ada pesan yang masuk dari Rakyan.

Mereka semua telah duduk. Tampak Sadewa tersenyum melihat pemandangan yang ada di depannya itu. Lalu pandangannya mengarah pada Wiranegara.

"Mohon maaf jika jamuan makan malam ini sederhana, Pak Wiranegara. Mohon maaf jika undangan makan malam ini terlalu mendadak. Saya terlalu senang mengetahui cucu saya akan mengadakan lamaran." Sadewa tersenyum di akhir kalimatnya.

JaladriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang