"Lagi apa?"
Gigi yang sedang mengaduk adonan brownis seketika berbalik dan melihat sang bunda yang sedang mengambil air putih.
"Lagi buat brownis, Bun," jawab Gigi sembari menyiapkan adonan lain untuk membuat beberapa kue kering.
"Tumben, biasanya nggak terlalu excited sama brownis," sahut Grahita sembari duduk di kursi bar dapur dan menatap sang putri yang sibuk membuat kue.
"Pesenan seseorang, Bun. Untuk hari yang spesial," ujar Gigi sembari tersenyum menatap sang bunda. Lalu gadis itu menuangkan adonan ke dalam wadah khusus dan memasukkannya ke dalam oven.
"Siapa?" tanya Grahita kemudian. Gigi menghentikan pekerjaannya sejenak lalu menatap sang bunda.
"Besok bu Er ulang tahun. Sedikit membantu putranya untuk mempersiapkan ulang tahun ibu."
Grahita langsung mengernyitkan dahinya. "Putra? Bu Er punya anak?"
Selama ini yang Grahita ketahui bu Erni adalah seorang guru yang hidup bersama suami tanpa kehadiran anak di tengah-tengah mereka.
Gigi mengangguk. "Punya, Bund. Memang mereka nggak tinggal bareng. Dan faktanya lagi, anaknya itu kakaknya Raras."
"Raras temen SMP?" Gigi mengangguk langsung.
"Terus?"
"Mereka satu ayah tapi beda ibu," ujar Gigi dan Grahita mengangguk.
"Oh gitu. Bunda malah baru tahu kalau bu Er punya anak."
Grahita lalu menjulurkan kepalanya untuk melihat apa saya yang dibuat sang putri. "Cookies jahe?"
Gigi mengangguk. "Untuk ayah. Tadi ayah ingin dibuatkan sekalian."
"Kebiasaan," celetuk Grahita dan disambut tawa pelan Gigi. Kebiasaan sang ayah memang suka ngemil kue kering buatan sang bunda. Dan sekarang Gigi membuat kue sehingga Gandhi ingin dibuatkan sekalian.
"Tumben bunda belum tidur?" tanya Gigi kemudian sembari menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 10 malam.
Gigi baru saja ada urusan di luar sehingga malam begini gadis itu baru membuat kue. Baginya hal ini sudah terbiasa. Dulu ketika masih kuliah pun Gigi sering mengambil part time untuk bekerja mulai dari penjaga di toko kue sampai menjadi konsultan di perusahaan konsultasi.
"Belum ngantuk. Ayahmu juga masih di ruang baca. Mau nyamperin males."
"Biasanya kalian tidak terpisahkan," sahut Gigi santai. Gadis itu kini mencetak adonan kue jahe sembari menunggu brownis matang.
"Selalu kalau keluar bersama, makan bersama, jalan bersama, apa-apa bersama," sambung Gigi.
Sedangkan Grahita berdecak pelan. "Rasakan nanti kalau kamu sudah punya suami, anak-anak sudah besar, pasti kalian memiliki waktu bersama itu lebih banyak. Lagipula ayahmu dulu sibuk, bunda sibuk juga, nggak ada salahnya 'kan bunda tua-tua begini nempel ke ayah?"
Gigi mengangguk-anggukkan kepalanya dan tertawa ringan. "Nggak sih, Bun. Mungkin bunda benar, Gigi belum pernah ngerasain juga."
"Nanti akan ada masanya. Nikmati saja, Mbak. Bunda nggak ngelarang kamu melakukan apa pun itu asal baik dan tidak bertentangan. Menikahlah nanti kalau sudah siap."
Gigi lantas berbalik dan tersenyum menatap sang bunda. "Tapi sayangnya Gigi nggak ada pasangan, Bun," sahut Gigi seraya terkekeh pelan. Lalu gadis itu kembali membelakangi sang bunda untuk melanjutkan aktivitasnya.
"Nggak apa-apa, Sayang. Jodoh itu nggak disangka loh. Kadang kita minta X tapi Tuhan malah kasih Y. Berdoa aja yang terbaik, pasti nanti kamu dikasih yang terbaik juga."

KAMU SEDANG MEMBACA
Jaladri
Chick-LitJaladri. Sang Samudra. Samudra itu luas. Tenang dan menghanyutkan. Mempertemukan dua hal yang bertolak belakang layaknya arus Kuroshio dan Oyashio. Namun samudra juga bisa memisahkan, bahkan bisa saja perpisahan itu tak akan pernah ada lagi yang nam...