"Tumben ibu minta Raky datang cepat ke rumah. Ada masalah berat?"
Bu Erni yang baru saja menghidangkan teh hangat, lantas duduk di depan Rakyan. Perempuan itu menatap sang putra dengan lekat.
"Kamu baik-baik saja dengan Gigi, kan?"
Rakyan mengerutkan dahinya pelan. "Baik-baik saja kok. Kenapa, Bu?"
Bu Erni tampak menghela napasnya pelan. "Syukurlah. Ibu takut kalau kalian bertengkar atau lagi di masa buruk. Ngomong-ngomong, hubungan kalian sudah sampai mana? Gigi tumben nggak kamu ajak."
"Hubungan kami baik-baik aja, Bu. Kita masih berkomunikasi dengan lancar dan nggak ada masalah. Gigi nggak aku ajak karena ada acara di Malaysia selama seminggu dan juga ibu minta Raky datang cepat-cepat ke sini."
Bu Erni tersenyum kecil. "Alhamdulillah kalau gitu. Mas jangan buat Gigi sedih atau buat masalah, ya? Kalau ada masalah diselesaikan bareng-bareng. Jangan sampai kalian bertengkar karena hal kecil."
Rakyan menyesap pelan tehnya sebelum menyahut ucapan sang ibu.
"Iya, Ibu. Raky ingat selalu. Kami juga bukan anak kecil lagi yang berdebat panjang dengan masalah sepele."
"Terus gimana ayahmu? Udah dikasih restu belum?" tanya bu Erni kembali.
"Belum ada kata restu yang terucap. Tapi melihat ayah yang tidak sekeras kemarin-kemarin, Raky yakin jika ayah perlahan akhirnya menerima dan memberi restu."
Bu Erni terlihat terdiam sejenak, lalu menyentuh tangan Rakyan. "Mas, mungkin ini bukan permintaan, tapi sebuah anjuran. Ibu ingin kamu segera melamar Gigi. Kalian bisa berbicara lagi untuk kelanjutan hubungan kalian. Ibu takut terjadi sesuatu ke depannya nanti jika kalian tidak mengambil langkah yang pasti."
Rakyan seketika terdiam ketika mendengar ucapan sang ibunda. Apakah ini langkah yang tepat? Namun mengingat Gigi yang belum siap sepenuhnya, membuat Rakyan berpikir ulang.
"Tapi Bu, kami nggak mau terburu-buru. Raky menghargai alasan Gigi. Raky juga tahu jika Gigi adalah sosok yang sangat berhati-hati dalam mengambil langkah. Dia punya espektasi yang besar ke depannya. Secara pribadi mungkin dia belum siap mengemban tanggung jawab sebagai istri."
Bu Erni seketika menghela napasnya panjang. "Memang benar, Gigi bukan sosok yang mudah untuk dibelokkan pendapat atau pun pandangannya secara pribadi. Namun tak ada salahnya kamu mencoba berbicara mengenai kelangsungan ke depannya, Mas. Ibu benar-benar khawatir sekarang."
Rakyan kembali terdiam sejenak dengan tatapan mengarah pada sang ibunda. Rasanya bingung ketika sang ibu tiba-tiba meminta hal seperti ini.
"Raky takut jika Gigi malah merasa tertekan, Bu. Raky sebenarnya juga ingin segera menikah, namun ada sisi yang mana ucapan Gigi itu benar. Kami masih dalam tahap menyelami satu sama lain."
Bu Erni terdiam sejenak. Entah mengapa ia ingin sang putra segera mempunyai ikatan yang jelas dengan Gigi.
"Kami juga masih sibuk-sibuknya. Raky sendiri masih sibuk di kesatuan. Hanya bisa keluar ketika hari libur, itu pun nggak bisa full seharian. Memang dekat-dekat ini Raky sedang sibuk latihan dan juga nggak bisa setiap waktu menghubungi Gigi. Begitu pula dengan Gigi. Dia masih sibuk dalam program dan pekerjaannya."
"Tapi kalian bisa bicara dengan baik-baik, Mas. Ibu yakin pasti Gigi paham dengan hal ini."
"Tapi jika Gigi terpaksa menerima? Bukankah itu malah nggak baik, Bu?"
Bu Erni mencoba tersenyum. "Dicoba dulu, Mas. Ditanya apa saja yang membuat Gigi belum yakin melangkah ke jenjang lebih serius."
Rakyan lalu menatap sang ibunda cukup lama. Beberapa saat kemudian, pria itu mengangguk pelan. Tak ada salahnya untuk mengikuti saran sang ibu. Lagipula, doa ibu 'kan doa yang manjur.
![](https://img.wattpad.com/cover/264994546-288-k569727.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaladri
Chick-LitJaladri. Sang Samudra. Samudra itu luas. Tenang dan menghanyutkan. Mempertemukan dua hal yang bertolak belakang layaknya arus Kuroshio dan Oyashio. Namun samudra juga bisa memisahkan, bahkan bisa saja perpisahan itu tak akan pernah ada lagi yang nam...