Ripples

8.1K 1.1K 94
                                    

"Astaghfirullah."

Gigi menatap langit-langit kamarnya. Keringatnya bercucuran amat banyak. Ia seperti habis berlari berkilo-kilo meter yang begitu menguras tenaga dan emosinya.

Gigi lantas mengembuskan napasnya perlahan. Setelah agak tenang, tangannya mencoba menggapai-gapai sesuatu yang berada di sampingnya.

Pukul 04.30 WIB. Kembali ia menatap langit-langit kamarnya. Ia mengusap wajahnya perlahan sambil mengucapkan istighfar berkali-kali. Napasnya masih agak memburu.

Semua itu terasa begitu nyata dan mengerikan. Gigi sadar bahwa ia telah menangis dalam tidurnya. Masih terasa begitu jelas setiap adegan yang muncul di dalam mimpinya itu.

Setelah berusaha mengatur napas dan mencoba berpikir jernih, akhirnya ia merasa lebih baik dan tenang. Gadis itu perlahan duduk di atas tempat tidurnya. Ia kembali mengecek gawainya. Pesannya belum dibaca oleh Rakyan, bahkan nomor laki-laki itu tak aktif.

Gigi kembali mengembuskan napasnya panjang ketika ia tiba-tiba dirundung rasa cemas. Apakah mimpinya itu benar akan terjadi? Atau hanya bunga tidur dampak dari pikirannya yang tak bisa lepas dari memikirkan Rakyan?

Tak mau membuat dirinya terus saja dilanda gelisah, Gigi memilih untuk turun dari ranjangnya dan menuju kamar mandi. Lebih baik ia beribadah terlebih dahulu sembari mendoakan Rakyan agar lelaki itu senantiasa diberi keselamatan dan pulang secepatnya ke tanah air.

Setelah selesai shalat subuh, Gigi memilih untuk turun ke dapur. Di sana ada mbak Ut yang tengah sibuk menyiapkan sarapan.

"Bunda di mana, Mbak?" tanya gadis itu kemudian. Biasanya sang bunda sudah bangun di jam ini.

"Belum keluar kamar kayaknya, Mbak," sahut mbak Ut yang sibuk memasak.

"Mbak Gigi, saya boleh tanya nggak?" Tiba-tiba mbak Ut bertanya saat mereka tengah memasak.

"Boleh. Tanya apa, Mbak?"

"Mbak Gigi habis ini nggak tinggal di rumah ini lagi, ya?"

Gigi yang tengah memotong selada langsung berhenti sejenak dan menatap mbaknya itu.

"Iya, Mbak. Aku ikut suami."

"Yah rumah jadi sepi lagi."

Jawaban polos mbak Ut membuat Gigi terkekeh pelan.

"Bukannya rumah ini emang sepi ya, Mbak? Kadang mbak Ut di rumah sendirian sama pak satpam dan bu Nor."

"Tapi Mbak, ini tuh beda gitu. Kan biasanya ada Mbak sama mas Gaga. Habis ini tinggal ibuk sama bapak, mas Gaga juga jarang di rumah."

Gigi lantas tersenyum. "Tenang aja, Mbak. Aku bakal pulang ke rumah ini kok kalau kangen kalian. Lagian jaraknya nggak jauh, kan?"

Mbak Ut tersenyum dan mengangguk. "Syukurlah, Mbak. Saya takutnya Mbak Gi nggak bisa pulang."

Gigi terkekeh pelan dengan jawaban mbak Ut. Mungkin perempuan setengah baya itu akan merasa kehilangan partner menggibah bersama dirinya. Selama ini, mereka sering membicarakan sesuatu. Walaupun beberapa kali membahas mengenai berita terkini, namun mereka kerap membicarakan harga pangan yang naik turun.

"Besok kalau aku nikah, keluarga di kampung harus datang semua ya, Mbak. Awas kalau nggak diajak kemari."

Mbak Ut tertawa pelan. "Waktu saya kabari kalau saya mau ajak mereka ke Jakarta, ya Allah seneng banget, Mbak. Anak saya langsung beli kain dan dijahitkan buat dijadiin kebaya."

Gigi ikut tertawa. Ia senang jika semua orang terdekatnya bahagia.

"Loh udah bangun, Gi?"

Tiba-tiba sang bunda datang ke dapur.

JaladriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang