"Lo lembur nggak, Gi?" tanya Sita saat waktu mendekati masa habis jam kerja.
"Nggak. Kerjaan gue alhamdulillah udah kelar semua. Mungkin gue juga jarang lembur ke depannya. Kenapa?"
"Makan malam bareng, yuk?"
"Di mana?"
Yudha tiba-tiba menyahut, "lo ada tempat rekomen, nggak?"
"Angkringan depan kantor mau? Nggak depan banget, sih. Deket kantor pos itu, loh."
"Angkringan? Gue kira lo ngasih rekomendasi restoran mahal. Udah ketar-ketir ngitung pengeluaran gue, Gi."
Gigi seketika tertawa pelan. "Mau makan di restoran? Apa ke Dirk Kitchen?"
"Nggak-nggak. Kalau makan di sana pasti lo gratisin. Nggak enak, Gi. Mana pegawainya sopan banget kayak gue makan habis lima juta lagi. Padahal kita makannya gratis."
Gigi kembali tertawa pelan. Padahal ia tak masalah. Mau mereka makan kapan saja di sana, silahkan saja.
"Ya udah ke angkringan aja. Gue lihat review-nya bagus kok. Nggak kayak angkringan yang apa adanya juga," sahut Yudha kemudian seraya memasukkan kembali gawainya ke dalam kantong celananya.
"Maghriban dulu," kata Gigi kemudian.
"Siap ustadzah Gigi. Berasa emak gue, dah," sahut Sita langsung dan Gigi hanya terkekeh pelan.
"Yud, lo jadi imam di masjid, ya?" ujar Sita kemudian.
"Nggak! Aneh-aneh lo!" sahut Yudha ngegas.
Sementara itu, Gigi hanya tersenyum melihat interaksi antara Sita dan Yudha. Bahkan setelah shalat maghrib dan sampai di angkringan, mereka masih saja berdebat dengan berbagai topik.
"Sering makan di sini, Gi?" tanya Yudha kemudian. Tampaknya ia sudah lelah berdebat dengan Sita.
Gigi yang tengah makan hanya mengangguk.
"Enak juga makanannya. Pantes aja lo rekomen di sini," sahut Yudha.
"Lo kira makanan enak cuma di restoran doang? Padahal tempat pinggiran gini makanannya juga enak-enak."
"Sultan bebas mau makan di mana aja," celetuk Sita.
"Aamiin jadi sultan," sahut Gigi langsung.
"Lo 'kan emang sultan, Gi. Kenapa masih amin?"
"Yang sultan 'kan orang tua dan keluarga gue. Gue mah masih remahan."
"Anjir remahan. Terus kita apa ya, Yud? Debu buat tayyamum kali."
Gigi hanya tertawa pelan dengan jawaban Sita yang penuh dengan rasa tidak terima.
"Astaga, gue bercanda kali."
"Sumpah, ya, gue gemoy lo ngomong gitu. Jiwa hendak beberin harta lo langsung naik ketika lo bilang remahan. Hadeh, Gi, Gi."
Gigi hanya tertawa. Sedangkan Yudha masih anteng menikmati makanannya. Lelaki itu tampaknya tak sedang ingin membuat perkara, terutama dengan Sita tentunya.
Gigi kemudian melanjutkan makannya. Namun tiba-tiba gawainya berdering. Gadis itu menatap nama pemanggil sebelum mengangkatnya.
"Halo assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam. Halo, Gi. Maaf ganggu waktu kamu."
"Nggak kok. Ada apa ya, Ras?"
"Hmm, begini, sebelumnya aku nggak yakin mau minta izin ke kamu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Jaladri
ChickLitJaladri. Sang Samudra. Samudra itu luas. Tenang dan menghanyutkan. Mempertemukan dua hal yang bertolak belakang layaknya arus Kuroshio dan Oyashio. Namun samudra juga bisa memisahkan, bahkan bisa saja perpisahan itu tak akan pernah ada lagi yang nam...