Lagoon

8.9K 1.1K 32
                                    

"Mas, nggak balik ke Jogja?" tanya bu Erni pada Rakyan yang duduk menghadap sang ibu.

Saat ini mereka berada di rumah bu Erni. Bu Erni sudah pulang setelah dirawat di rumah sakit selama dua hari. Selain itu, Rakyan juga setiap hari datang ke rumah sang ibu selepas dinasnya.

Rakyan menggeleng. "Nggak, Bu. Raky di sini saja nemenin ibu." Laki-laki itu lalu mengambil tangan sang ibu.

"Kenapa, Mas?"

"Buat apa, Bu? Masa depan Raky sudah ada di sini, yaitu ibu. Kenapa harus balik ke Jogja?"

Dibalik wajah pucatnya, bu Erni tampak tersenyum lembut. Tatapan itu sarat akan kasih sayang yang begitu luas. Hingga perempuan lemah lembut itu tak dapat mendefinisikan makna kasih yang ia tebar pada sang putra.

"Di Jogja ada bapakmu dan adik-adikmu. Mungkin kemarin Raras sudah nyamperin kamu ke sini. Sedangkan adik-adikmu yang lain belum ketemu kamu, Mas."

Rakyan bergeming di tempatnya. Sesungguhnya ia sangat tidak ingin kembali ke tempat kelahirannya itu.

"Ngapain Raky kembali ke tempat yang membuat semuanya rumit, Bu? Lagipula ibu di sini. Raky juga sudah dinas di Jakarta, buat apa Raky harus jauh-jauh ke Jogja lagi?"

Bu Erni tampak menghela napasnya. "Mas, kamu anak laki-laki sulung, banyak yang menantikan kamu untuk sekedar pulang sebentar ke Jogja."

Rakyan menatap sang ibu. "Siapa yang menanti Raky, Bu? Bukankah mereka yang senang sekali menuntut seseorang untuk menjadi sesuatu sesuai keinginan mereka? Mereka hanya tahu menuntut dan mengekang."

"Raky pernah bilang 'kan kalau doa ibu itu lebih dari cukup. Walaupun saya disabda tidak bisa mengejar mimpi saya, tetapi doa ibu-lah yang membuat Raky lolos. Mereka hanya tahu menghancurkan, mereka hanya tahu cara untuk memaksa, dan mereka tidak pantas untuk didekati lagi."

"Dulu, kalau bukan mbok yang momong saya sakit, Raky pun enggan pulang. Setelah di sana pun, Raky masih diatur hingga rasanya bosan dan muak, Bu. Biarkan saya menikmati hidup seperti ini. Raky sudah bahagia dengan ibu."

"Tapi dia ayahmu, mereka keluargamu, Mas," sahut Bu Erni pelan.

Rakyan lalu menatap ke bawah seraya mengembuskan napasnya panjang. Setelah itu, kembali menatap sang ibu.

"Tidak ada yang bisa saya harapkan dari sana, Bu. Saya memang sayang dengan adik-adik, tetapi untuk membuka ke hal lain rasanya Raky sudah susah."

Bu Erni kembali mencoba untuk tersenyum. Putranya ini memang mempunyai prinsip yang kuat. Sekali bilang tidak, maka Rakyan benar-benar merealisasikan ucapannya itu.

"Ibu jangan senyum begitu. Nggak ada yang perlu dimaklumi jika itu tak maklum, Bu. Kalau boleh saja saya melepas gelar Raden Mas, saya juga ingin."

Bu Erni langsung menggenggam tangan sang putra. "Jangan, Mas. Jangan. Jangan, ya? Kamu masih keturunannya langsung. Jangan buat leluhurmu bersedih di swargi sana. Anggap kamu menghormati eyang-eyangmu yang sudah tindak lebih dulu. Ingatlah eyang putrimu kalau kamu mau melepas semuanya." (swargi = surga ; tindak = pergi)

Rakyan reflek memejamkan matanya. Lalu merangsek masuk ke dalam pelukan sang ibu. "Kenapa ibu membawa eyang putri? Saya nggak bisa, Bu. Saya nggak bisa."

*****

"Jadi nikah?"

Rakyan menatap undangan pernikahan berwarna emas dengan aksen ulir yang melingkar di tiap pojok undangan. Matanya lalu bergerak menatap laki-laki yang tersenyum tipis di depannya itu.

"Jadilah! Pacaran 13 tahun ya harus ke pelaminan!" sahut Reza cepat.

Rakyan mendengus. Lalu memilih meminum minuman yang ada di depannya.

JaladriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang