2. Antagonist Husband

73.6K 7.1K 723
                                    

Ansel membuka pintu kamar, diliriknya jam dinding yang ada dikamar sudah menunjukkan pukul satu dini hari.  Ansel menutup kembali pintu kamarnya dan pandangannya jatuh pada sosok perempuan yang bergelung dibawah selimut tebal berwarna abu-abu.

"Lea," gumam Ansel menghela napasnya dan memilih mengganti baju untuk segera mengistirahatkan dirinya.

Ansel menarik selimut yang menutupi tubuh Lea, dan mendorong tubuh Lea ke lantai.

Lea tersentak saat merasakan pertemuan dengan lantai yang membuatnya langsung meringis, dan memilih untuk bangun melihat apa yang baru saja terjadi.

"Gue nggak suka tidur sempit, kemaren lo lupa gue nggak tidur sama lo, dan hari ini seenaknya lo tidur ditempat gue?"

Lea mengingat kembali, setelah acara resepsi Ansel pergi entah dimana dan pulang pada pagi hari saat Lea sibuk memasak.

"Aku capek banget."

"Lemah!"

"Gue capek disuruh-suruh!" Lea bangkit menatap horor kearah Ansel. Ansel berdecih, menurutnya, apa-apaan cewek didepannya ini berani membentak dirinya.

"Kalau nggak mau disuruh-suruh jangan tinggal disini." Ansel menempelkan jari telunjuknya dikening Lea yang sedetik kemudian telunjuk itu untuk mendorong kepala Lea.

"Kenapa lo nggak mati ngikut orang tua lo sih."

Ansel tersenyum miring, beralih mengusap rambut Lea. Kemudian, mendekatkan bibirnya ke kening Lea. Menciumnya lama, Lea terdiam terhadap perlakuan Ansel.

"Gue punya hadiah buat lo karena udah berani bentak gue." Ansel tersenyum tipis namun, terus mengusap rambut hitam milik Lea.

Seketika senyum itu berubah jadi datar, tatapan yang tidak bersahabat sama sekali.

"Ikut gue."

"Apaan sih lepasin." Lea berusaha melepaskan cekalan tangan Ansel ditangannya.

"Masuk." Ansel mendorong tubuh Lea kedalam kamar mandir, Lea tersungkur dan merasakan dinginnya lantai kamar mandi.

"Kamu mau ngapain?" Tanya Lea segera berdiri saat melihat Ansel yang langsung menutup pintu kamar mandi.

"Ansel, buka pintunya." Lea menggedor-gedor pintu kamar mandi berulang kali namun, Ansel masa bodo akan hal itu.

"Nyesel banget gue sampe minta tolong buat lo pulang biar nolongin gue dari mama lo tadi,lo gila, lo bodoh," teriak Lea yang benar-benar sangat kesal. Tidak ibu Ansel, Ansel, ikut serta dalam menyiksa dirinya.

"Buka!"

Pintu kamar mandi terbuka Ansel mengangkat dagu Lea. "Apa lo bilang? Lo? Gue? Gue nggak suka lo ngomong kayak gitu!"

Lea menepis tangan Ansel yang mencengkram dagunya. "Iya gue ngomong lo gue, nih, lo gila, lo nggak waras, lo bodoh, lo..."

"Lo bener-bener ya." Ansel sangat kesal terhadap Lea yang berani mengata-ngatainya dirinya.

"Lo itu seharusnya mati, biar gue nggak usah nikahin lo."

Lea kembali menormalkan detak jantungnya, memejamkan matanya, dan berusaha tenang, masalah tidak akan selesai jika terus emosi begini.

"Kalau papa kamu nggak nabrak orang tua aku mereka mungkin masih hidup sekarang."

"Aku juga nggak mau nikah sama orang gila kayak kamu." Lea berlari keluar kamar.

Ansel menyusul Lea. Takut-takut jika perempuan itu malah kabur dari rumah. Sehingga membuat Ansel repot dan kesusahan untuk mencarinya.

"Heh, lo mau kemana?"

"Kenapa? Bukannya kalau aku nggak pulang-pulang atau aku mati sekalian kamu nggak masalah?"

Ansel terdiam, bingung ingin menjawab, jawaban seperti apa. Dia memang tidak peduli tapi, tetap saja penasaran ingin pergi kemana gadis itu.

"Heh kalian berisik!" Lea dan Ansel sama sama menoleh ke lantai bawah. Yang ternyata Ivan papanya Ansel yang berteriak.

Lea kembali berlari menuruni tangga menuju dapur, yang langkahnya diikuti Ansel.

Lea mengambil pisau.

"Lo apaan sih!"

"Ini pisau." Lea menyodorkan pisau didepan Ansel, Ansel hanya menatap tidak suka. "Ayo bunuh aku."

"Kamu mau aku mati kan?"

"Ayo bunuh aku."

"Kamu nggak suka aku ngomong, 'lo' 'gue' ini aku udah ngomong aku kamu, ayo sekarang gantian turutin mau aku."

Ansel mengambil pisau tersebut dan menjatuhkannya ke lantai. "Lo gila."

Ansel sangat marah, kesal, semua barang disini rasanya ingin dia hancurkan semua.

Ansel mengambil piring yang tertata rapi dan hendak melemparnya kelantai.

"Eh, eh."

Lea menggelengkan kepalanya dengan artian tidak boleh melemparkan piring itu.

"Ini piring orang, nggak boleh dilempar, nanti pecah yang punya malah marah." Lea mengambil piring yang ada ditangan Ansel itu.

"Oh, iya punya orang." Ansel menatap piring yang sudah berpindah dan kembali tertata rapi, "punya mama," lanjutnya.

"Nanti kalau punya piring sendiri kamu lempar-lempar aja."

Ria yang ikut memperhatikan mereka langsung menatap suaminya. "Perasaan tadi kayak mau bunuh-bunuhan."

"Masa gara-gara piring jadi baikan." Ria jadi kesal sendiri dia pikir menantunya itu akan kena marah dan dipukul habis-habisan ternyata dia salah.

"Bikinin gue kopi." Ansel duduk meja makan memijit pelipisnya yang terasa pening.

"Pake kata tolong."

"Tolong buatin gue kopi."

Ria masuk ke kamar, geleng-geleng kepala. " Apa-apaan, sekarang malah ngopi bareng."

"Bawa ke kamar aja." Ansel meninggalkan Lea yang sedang membuat kopi. Entahlah dia ingin minum kopi jika sedang kesal seperti ini.

"Ansel, ini kopinya." Menyerahkan kopi tersebut kepada Ansel yang tengah duduk diatas kasur.

Ansel mengambil kopi itu dan meminumnya perlahan.

"Kata ayah, aku kalo buat kopi enak lho." Lea mengingat kembali kenangan bersama ayahnya, ayah yang selalu memuji apapun yang dibuat oleh Lea.

"Hmm."

Masalah tadi seolah-olah dilupakan saja. Tidak ada yang menungkitnya saat ini. Gara-gara piring.

"Kalau semua jahat sama aku, setidaknya kamu suami aku yang seharusnya baik sama aku."

"Itu berlaku kalo gue anggap lo ada."

Lea menunduk, semuanya seolah jadi luka, lalu tertutupi, kemudian, jadi luka lagi terus saja seperti itu.

Lea mendongakkan kepalanya, takut-takut jika Ansel melempar gelas tersebut karena kesal padanya.

"Itu juga punya orang, jangan sampai dilempar."

"Iya, punya mama." Ansel meletakkan gelas tersebut diatas nakas. Kemudian mengambil ponselnya dan bermain game.

"Gue capek."

Senin, 24 Mei 2021

HALAI-BALAI | Antagonist Husband LENGKAP (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang