22. Jembatan Panjang 2

6 3 0
                                    

Di seperempat jarak perjalanan mereka akhirnya sampai di tempat penukaran karcis dengan gelang kertas. Heri dan Putri bertugas menukar semua karcis mereka, jadi nanti tinggal dibagi gelangnya dan dipakai ditangan kanan masing-masing. Katanya sih wajib di tangan kanan, soalnya nanti di pertengahan jalan akan ada tempat scan kode yang ada di gelang, terus nanti mereka akan dapet satu gelas teh dan beberapa cemilan.

Qiya duduk di bangku panjang yang tersedia di tempat itu, ia menyingkap celana kulotnya untuk melihat lututnya yang terasa perih. Yasir dan Bara juga ikut melihat lutut Qiya, mereka nampaknya khawatir.

Qiya menoleh ke arah Fatur. Cowok itu tadi membantunya berdiri dan sempat menepuk-nepuk celana bagian lututnya untuk membersihkan tanah yang menempel disana. Serius, Qiya baper banget. Tapi sekarang, Qiya tidak melihat ekspresi khawatir dari wajahnya. Yaa wajar sih, siapa Qiya bagi Fatur? Tidak lebih dari sekedar adik temannya.

Qiya meringis ketika lututnya di sentuh oleh Yasir. "Harusnya di bersihin pake air," ucap Yasir.

Qiya menunduk melihat kondisi lututnya lebih dekat, benar saja, lututnya merah dan tergores, pantas perih. Benar kata Yasir, harus di bersihin, minimal pakai air.

Bara beranjak pergi ke arah meja penukaran karcis. Beberapa orang yang mengantri menukar karcis menatap Bara dengan sinis. Mungkin mereka mengira Bara mengacak antrian, padahal tidak ada maksud begitu.

Cowok itu kembali dengan kotak P3K ditangannya. "Nih, Cil.. untung gue tanyain ternyata beneran ada ini," ujar Bara sambil mengulurkan kotak itu.

"Tetep bersihin pake air dulu deh" saran Aji.

"Tadi gue liat si putri bawa minum, coba gue tanyain" ucapnya lagi.

Benar saja Putri membawa minum di botol kecil. Aji menyerahkan botol itu kepada Bara. Lalu sedikit demi sedikit Di basuhkan ke luka Qiya. Qiya terkejut karena rasa perih yang terasa di lututnya.

"Udah kak! Perih nih" keluhnya.

"Iya nih udah, pakein betadine aja Cil," kata Bara.

Yasir mulai mengobati luka Qiya dengan telaten. Ia benar-benar merasa bersalah karena meninggalkan adiknya jalan di belakang. Padahal tadi, ia yang mengajaknya untuk ikut.

Beberapa pasang mata yang melihat ke arah mereka menatap iri Qiya. Bagaimana tidak, cowok tampan seperti Bara dan Yasir berlutut di hadapannya untuk mengobati luka kecilnya. Qiya terlihat seperti seorang Ratu yang sangat dijaga. Para cewek disana benar-benar iri melihat Qiya.

Sadar dengan tatapan orang-orang, Qiya merasa malu, lalu menyuruh Bara untuk berdiri saja. "Eum.. kak Bara berdiri aja, gausah jongkok mulu depan gue. Ini kak Yasir juga lagi ngobatin kok,"

"Anjaaayy!! Khawatir maneh cangkeul eta teh Bar, cieee ciee" goda Riza.

Sialan! Bukan itu maksud Qiya, pikirnya. Lihat sekarang, Bara berdiri dengan senyum menjijikannya. Pasti kepedean nih dia. Padahal Qiya gak peduli mau Bara pegel atau tidak. Gara-gara Riza nih!!

Tak lama, Heri dan Putri menghampiri mereka lalu membagikan gelang kertas itu. Mereka mulai memakainya di tangan kanan masing-masing. Agak susah karena pakai satu tangan, tangan kiri pula. Jadinya mereka saling bantu.

"Sini Qiy, gue pakein" tawar Bara.

"Gak usah!" Tolak Qiya dengan sinis.

"Ya ampuunn galak deuiii calon pacar teh," gumam Bara dengan ekspresi pura-pura sedih.

Qiya memperhatikan Fatur dalam diam. Cowok itu telah memakai gelangnya tanpa bantuan orang lain. Pandangannya menatap Aji dan Riza yang saling memakaikan gelang. Bibirnya terlihat sedikit tersenyum, entah apa yang ada di pikirannya.

"Si Fatur pokus amat liatin si Riza sama si Aji lagi nge homo" celetuk Heri.

Sontak Fatur tertawa mendengar ucapan Heri. "Gilaa!! Kebaca juga tatapan gue ya?" Tanyanya setelah meghentikan tawa.

"Kurang ajar lo! Siapa yang homo sama siapa! Najis bgt kalo harus homo apalagi sama si Riza" ucap Aji

"Menurut lo gue mau homo sama lo! Cakep kali lo! Normal nih gue, iya kan neng Qiya?" Kata Aji.

Bara menatap Aji dengan sengit, "ngajak ribut"

Yasir diam saja tidak memperdulikan teman-temannya. Terserah mereka lah, mau saling bunuh juga terserah, cape punya temen no have akhlak kaya gitu, candaa hehe.

"Hayu ah lanjut jalan," ajak Yasir. Ia menggandeng tangan Qiya karena adiknya ini jadi susah jalan karena jatuh tadi.

"Bisa gak jalannya Qiya?" Tanya Bara.

"Liat atuh Bar, itu di pegangin gitu sama kakaknya, masih aja spik-spik nanyain pertanyaan yang gaperlu di jawab," ucap Heri.

"Asu maneh, gak tau modus ya lo, Her?"

......

Mereka sampai di tribun, tempat yang berada di jarak tengah jalan ke Jembatan Panjang. Di depan tribun ada panggung yang menampilkan kreasi khas sunda.

Yasir dan yang lain membawa satu gelas teh dan beberapa makanan yang tadi di bagikan sebelum duduk di tribun ini. Qiya duduk di samping Putri, sengaja supaya bisa ngobrol sesama cewek, ya kalian tau kan mereka ceweknya berdua disini. Ketika Yasir hendak duduk di samping adik nya, Bara dengan sigap menduduki tempat itu, lalu tangannya menarik pergelangan tangan Yasir agar ia duduk di samping Bara.

"Sialan lo!" Umpat Yasir.

"Yang peka dong, gimana sih" kata Bara.

"Ada aja kelakuan tu buaya" ucap Riza.

Putri tertawa mendengarnya, "iya bener Za, buaya! Hati-hati ah Qiy,"

"Santaii.. siaga satu terus gue" kata Qiya.

Bara mendengus sebal, "ape sih nih kalian, siape yang buaya hah? Elo Ji?"

"Buseett ngapa jadi aing anjir! Tuh si Fatur meren," ucap Aji.

Fatur dengan santai menjawab, "semua manusia juga tau yang buaya siapa,"

"Ya iya, elo Tur, kan lo paling banyak ceweknya!" Tuduh Putri.

Qiya sedikit terkejut mendengarnya, apa iya Fatur banyak ceweknya? Mungkin maksudnya banyak cewek yang suka, tapi Faturnya ngga. Jangan buat Qiya overthingking yaa..

"Sesuai kualitas," jawab Fatur dengan ekspresi tenang.

"Ya ampuunn... geleh aing dengernya! Dahla, diem lo Tur, mending kaga ngomong aja. Daripada aing lempar ke jurang," kesal Riza.

Qiya tersenyum senang entah karena apa. Ternyata Fatur tidak secuek itu, ia tetap akrab dan bercanda jika bersama teman-temannya. Qiya tidak menyesal ikut walaupun telah korban jatuh dan terus diganggu oleh Bara, setidaknya ia jadi tau sisi lain dari sosok cuek yang selama ini ia kagumi.

"Ihhh manis bener nih gadis kalo senyum" puji Bara ketika melihat Qiya yang tersenyum manis sambil memakan cemilan. Belum tau aja dia alasan Qiya senyum karena apa, kena mental kalau sampai beneran tau.

"Makan tuh! Jangan ganggu gue terus!" Ucap Qiya.

"Siap sayaang,"

"Wleeekkkk!!!" Riza dan Heri dengan kompak pura-pura muntah mendengar ucapan Bara.

Yasir memukul bahu Bara dengan keras, membuat Bara meringis pelan tapi tetap tersenyum.

"Geli urang mah ngedengernya juga," kata Putri.

"Sama teh" sahut Qiya.

Bara dengan pedenya tetap mempertahankan senyumannya, tidak peduli bagaimana respond Qiya dan yang lain karena ucapannya barusan. Definisi gak ada akhlak ya Bara.

Me And SeniorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang