40. Yasir

5 3 0
                                    

Bukannya merasa tenang, Bara malah semakin gelisah ketika Qiya tidak menjawab pertanyaannya dengan benar. Gadis itu malah balik bertanya lalu sedikit-demi sedikit topik obrolan mereka di alihkan oleh gadis itu.

Bara sadar, Qiya hanya menghindar dari pertanyaan yang melibatkan perasaannya. Bara paham, mungkin ia terlalu asing untuk menerima kejujuran Qiya apalagi mengenai perasaannya. Tapi, ia sangat butuh dan ingin tau tentang jawaban dari pertanyaannya itu.

"Prustrasi banget lah ini mah, lama-lama membatin gini bisa kurus kering gue. Udah kurus makin kurus! Galucu juga kalo alasan gue membatin cuma karena cewek," sejak pulang dari mengantar Qiya, Bara tak henti-hentinya bermonolog sampai Bundanya heran sendiri.

"Kamu kenapa sih? Nyerocoosss aja dari tadi, gak kering tu mulutnya?" Tanya sang Bunda karena mulai jengah mendengar ocehan anak tunggalnya.

"Bunda, kalo cewek lagi suka sama seseorang itu tandanya gimana?"

Bunda Bara menatap putranya penuh selidik, "ngapain nanya gitu?"

"Tinggal jawab susah banget deh,"

"Perempuan itu kalo lagi jatuh cinta beda-beda tipenya, beda-beda juga cara nunjukinnya."

Bara mendesah karena semakin bingung, "kalo cewek yang setiap liat seseorang matanya langsung berbinar gitu tapi tubuhnya keliat gugup, itu kenapa Bun?"

"Bisa jadi jatuh cinta kaya gitu juga," jawab sang Bunda dengan santai, tapi tidak dengan Bara, mendengar jawaban kelewat santai itu malah membuatnya semakin prustrasi.

"Emang siapa sih perempuan yang bikin kamu tanya gitu ke Bunda? Kenalin kali, sombong banget punya gebetan gak di kenalin ke Bunda,"

"Ah apaan sih! Ngga gitu Bun" jawab Bara sambil jalan meninggalkan meja makan. Ia kembali ke kamarnya untuk meratapi nasibnya, lagi.

Jika benar yang Qiya suka adalah Fatur, sudah jelas ia kalah. Pertama, karena hati Qiya sudah menentukan siapa yang memilikinya. Kedua, Fatur cakep banget mana dia emang selalu jadi idaman siswi-siswi.

Tapi sebagai seorang pria sejati, bukan kah minder adalah larangan? Maka dari itu Bara akan terus memperjuangkan perasaannya, kalau tidak juga berhasil setidaknya ia akan terus berjuang sampai Bara merasa lelah dengan sendirinya.

.......

Siaran televisi di ruang keluarga rumah Qiya terus diganti-ganti oleh sang pemegang remot. Entah sudah berapa kali Yasir menghembuskan nafas kesalnya karena kelakuan Qiya.

Ia merebut remot yang berada di genggaman tangan adiknya dengan kasar.

"Kalo gak mau nonton, ya gak usah!" Sindir Yasir.

"Biasa aja kali," jawab Qiya malas, lalu menyenderkan punggungnya di senderan sofa.

"Eh, enak ya jadi lo. Di kejar 2 cowok tapi malah milih yang gak pasti,"

Qiya menoleh menatap sang kakak dengan tatapan tajamnya. "Maksud lo apa?"

"Yaaa... enak aja jadi lo, gak mikirin perasaan cowok kayaknya,"

Qiya tertawa kecil merasa tak percaya dengan ucapan kakaknya, "jadi maksud lo gue gak mikirin perasaan temen lo?"

"Si Irham juga btw."

"Jangan sok tau deh! Gak usah ikut campur,"

Yasir menatap Qiya santai, ia mulai menyadari Qiya emosi karena ucapannya. Tapi ia rasa harus mengatakan hal ini, "gue bukan ikut campur, gue cuma ngasih tau lo. Jangan buta karena perasaan lo, jangan sampai lo kehilangan yang tulus karena lo terlalu gak peduli dan buta," kata Yasir dengan lembut. Berusaha terdengar tidak menyebalkan untuk Qiya.

Me And SeniorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang