54. Susu Kotak

8 2 0
                                    

Makasih susu kotaknya :)

Sebuah pesan singkat dari Qiya mampu membuat Bara overthingking sampai tidak fokus memperhatikan guru yang mengajar. Bara benar-benar tidak percaya, ini beneran Qiya atau bukan yang kirim pesan?

Tumben sekali gadis itu mengiriminya pesan. Manis sekali menurut Bara. Ia seperti diberi harapan kembali, tapi Bara juga sadar Qiya sudah memilih Irham. Jalannya semakin sulit karena gadis yang di cintainya telah bersama dengan yang lain.

Bara dilema, ia harus apa? Maju terus atau berhenti sejenak. Atau bahkan ia harus sepenuhnya berhenti? Mencintai Qiya kenapa harus sesulit ini? Ia takut Qiya tak nyaman jika terus didekati padahal jelas-jelas Qiya sudah punya pacar. Bara juga tidak ingin disebut perebut. Kondisinya sudah tidak seperti dulu, sekarang Qiya tidak lagi menjomblo, dan status Qiya itu harus Bara pikirkan.

Bara menghela nafas sambil terus memperhatikan pesan dari Qiya di ponselnya. "Harus bahagia atau sedih sih gue?"

Tiba-tiba ponselnya direbut oleh seseorang yang berdiri di sampingnya, "kamu harusnya perhatikan pelajaran yang saya jelaskan Bara!!!" Tegur Bu Siti.

Bara mendongak sambil meringis, ia menatap ragu ke arah Bu Siti yang sekarang berdiri di sampingnya dengan tatapan sengit. Sorot mata Bu Siti seperti akan membunuh, sangat tajam menusuk matanya.

Bara melihat Bu Siti membaca pesan dari Qiya, ia panik karena takut di baca dengan suara lantang sehingga teman kelasnya mengetahui, jangan sampai nanti ia jadi bahan ledekan teman-temannya.

"Bu, balikin aja bu hp saya. Ibu kan punya hp sendiri kenapa ngambil punya saya?"

"Baca yang keras dong bu!!" Teriak Riza yang duduk di bangku pojok.

"Makasih susu kotaknya emot senyum, dari--"

"Eehhh bu!! Itu pak Hamdi manggil bu!!" Sontak Bara berkata sambil berdiri. Ia berusaha meraih ponselnya yang berada di genggaman Bu Siti.

"Ngibulin saya hukumannya nambah!" Ancam Bu Siti.

"Jangan dibacain lagi kali Bu! Kayak gak paham anak muda aja sih," rayu Bara. Padahal saat ini, teman kelasnya sudah tersenyum geli dengan tatapan jahilnya.

"Udah Bu, kasihin aja hp nya. Kita udah paham kok itu pesan dari siapa," sahut Heri.

"Kamu keluar! Berdiri di tengah lapangan sampai istirahat!!!"

Bara dengan langkah lesunya berjalan keluar kelas. Gak apa-apa asal ponselnya di kembalikan.

Ia berdiri di lapangan di tempat yang agak teduh, ini masih lumayan pagi tapi matahari udah terik banget.

Bara berdiri dengan malas, ia menghadap ke kelas Qiya. "Lumayan juga nih sambil modus" gumamnya lalu terkikik geli.

"Gak ada gurunya ternyata makanya bisa kirim pesan ke gue," Bara terus bermonolog dengan mata yang tak henti memperhatikan kelas Qiya yang rusuh.

"BARA!!! BERDIRI DI TENGAH LAPANGAN! BUKAN DI PINGGIR LAPANGAN YANG TEDUH! SAYA PANTAU KAMU DARI SINI" teriak Bu Siti saat memergoki Bara berdiri di sisi lapang yang teduh.

Bara mendengus sebal, ia jadi malu diteriaki seperti itu. Soalnya Bara melihat Qiya yang menatapnya.

"Parah, jadi ketauan kan lagi di hukum!"

......

"Gimana Bar? Dihukum sendirian tanpa kita?" Tanya Riza. Saat ini mereka sedang berkumpul di warung belakang.

5 menit yang lalu bel istirahat berbunyi dan itu pertanda juga untuk hukuman Bara selesai.

Bara tak berniat menjawab pertanyaan Riza yang mengesalkan baginya, ia hanya fokus mengipasi lehernya yang bercucuran keringat. Kenapa pagi ini panas banget, untung saja tadi Bara sudah sarapan.

"Daripada bacod! Mending lo pijitin kaki gue, Za! Pegel banget berdiri dua setengah jam!!"

Riza mendelik, cowok itu pindah duduk jadi agak jauh dari Bara. "Ogah! Rasain tuh dihukum sendirian bete kan lo hahhaha."

"Lagian, salah sendiri. Cuma kalimat makasih aja sampe oleng gitu, mana ketauan Bu Siti lagi, mampus lah" ucap Aji sambil meminum teh gelas.

"Bu Siti aja yang kepo sama urusan gue! Kalo ngajar mah ya tinggal ngajar, pake segala baca-bacain wa gue. Malu ya allah Bara maluuu!!!!" Pekik Bara prustrasi. Ia benar-benar malu.

"Ya elah.. punya malu juga lo?"

Bara melempar sobekan kardus yang tadi ia pakai untuk kipas-kipas. "Diem nying!" Kesalnya ke Yasir.

"Kaga gue kasih restu ya lo!" Ancamnya.

"Iya A, restu A yasir buat gue aja doang," sahut Irham yang baru saja gabung di warung belakang.

"DIEM BUSEETT!!! Berisik banget lo pada! Teu nempo ieu aing keur belajar! Saminggu deui ujian yeuh aing!!!" Kesal Alan yang sejak tadi terganggu.

Ia menutup bukunya lalu beranjak pergi meninggalkan warung belakang. Mending belajar di perpus. Gak papa lah sekali doang jadi anak rajin, demi ujian. Pikir Alan.

"Emosi amat boss!! Mau kemana lo?" Tanya Heri.

"Pergi dari neraka!"

Mereka tertawa mendengar jawaban Alan. Entah kenapa akhir-akhir ini kakak kelasnya itu jadi bawa buku kemana-mana. Alan selalu beralasan sebentar lagi ujian. Padahal Alan biasanya gak pernah peduli nilai. Ujian tinggal ujian dan lulus tinggal lulus. Mereka jadi curiga, kayaknya ada sesuatu yang harus Alan raih. Makanya jadi ambis gitu.

Me And SeniorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang