68. Telat

8 0 0
                                    

Suara kendaraan sangat terdengan ricuh di telinga Qiya. Berdiri di pinggir jalan menunggu grab pesanannya membuat Qiya gerah. Ini masih pagi, tapi suasananya sudah sangat rusuh layaknya pasar. Andai saja Yasir tidak meninggalkannya ia tidak mungkin berakhir berdiri di pinggir jalan ini menunggu grab yang lama sekali datangnya.

Lagipula, sejak kapan Yasir berangkat lebih dulu daripada Qiya? Sepengalaman Qiya, kakaknya itu paling pagi berangkat ya ketika bareng dengannya. Kalau tidak bareng sudah dipastikan Yasir berangkat jam 8 atau saat waktu istirahat pertama.

Mengingat tentang murid-murid yang sering seenaknya datang sekolah membuat Qiya merasa ingin menjadi kepala sekolah atau menjadi guru BK atau guru kesiswaan. Akan ia hukum sejadi-jadinya murid-murid yang datang seenak jidat seperti Yasir dan kawannya.

Tapi kalau dipikir-pikir, kayaknya akhir-akhir ini Qiya mulai insaf juga dari kebiasaannya kabur sekolah. Mungkin karena di kelas 11 ini Qiya duduk satu meja sama Rena yang rajin banget. Jadi terpaksa Qiya harus ikut rajin dan lebih betah di sekolah. Itu dengan paksaan Qiya, kadang juga Qiya godain Rena biar mau kabur. Soalnya Rena paling susah di ajak kabur, kaya Imel tapi dia lebih mudah. Jiwa bandelnya masih ada, kalau Rena udah benar-benar murid teladan banget.

Inget juga waktu baru sekitar satu minggu masuk kelas 11, Rena udah kesal banget karena di goda terus sama Qiya dan Ajeng supaya mau ikut kabur. Tapi akhirnya Rena ikut kabur juga walaupun di perjalanan ia terus-terusan berceloteh takut ketauan sampai katanya dia mau balik lagi saja ke sekolah sendirian. Untung saja rayuan setan Qiya terus berjalan sampai akhirnya mereka duduk di alun-alun sambil makan es krim bareng-bareng.

Sibuk melamum, Qiya sampai tidak sadar kalau abang grab udah celingukan mencari pemesan grab atas nama Zelqiya. Untung saja abang grab itu memberanikan diri menyapa Qiya dan menanyakan namanya. Jadi Qiya sadar dari lamunannya dan segera naik ke motor grab.

"Maaf ya neng, tadi motornya abis bensin jadi saya beli dulu. Terus pomnya rame pisan hari ini teh, sampe kesemutan saya nunggunya."

Qiya yang duduk di belakang jok penumpang masih bisa mendengar jelas penjelasan abang grab itu walaupun jalanan ramai dan berisik banget.

"Iya gak papa bang! Tapi buru-buru ya bang saya udah telat banget" jawab Qiya sedikit berteriak.

Padahal gak mungkin telat juga, hari ini bukan pelajaran pak Hamdi. Tapi Qiya gak enak saja, dia gak pernah datang sesiang ini.

"Macet neng, susah ini mah kalau buru-buru. Jalannya padet pisan. Gak bisa pake jalur lain neng. Sekolah neng jalannya cuma kesini."

Qiya mendesah prustrasi, "diusahain aja kali bang!"

"Oke neng."

Setelah melewati macet, akhirnya Qiya sampai di sekolah. Qiya melirik jam di pergelangan tangannya, menunjukan pukul 8 lewat 10 menit. Keadaan sekolah udah sepi dan semua pintu kelas terlihat tertutup. Qiya berusaha gak panik, tapi gak bisa. Pasti di kelasnya juga sudah ada guru. Qiya berlari hingga sampai di depan pintu kelasnya yang tertutup. Di sekolah Qiya, gerbang depannya gak di jaga satpam. Jadi cuma di tutup aja biasa.

Ia menarik dan membuang nafas berusaha menormalkan pernafasannya. Jangan sampai terlalu kelihat ngos-ngosan. Bukan cuma malu sama guru, tapi anak kelas pasti ledekin Qiya kalau gini caranya.

Setelah dirasa lumayan normal, Qiya mengusap sedikit peluh didahinya walaupun sebenarnya tidak terlalu terlihat. Qiya membuka pintu dengan santai, hari ini palajaran bahasa Indonesia yang gurunya sangat terlihat sering merasa kesal kepada Qiya.

Dalam hati Qiya tidak berhenti berdoa agar bu Sari tidak memarahinya. Ekspresinya harus tetap happy kiyowo. Qiya mencium punggung tangan bu Sari yang mukanya udah gak enak banget menatap Qiya. Qiya tersenyum tipis setelah itu berjalan menuju bangkunya.

"Suruh siapa duduk?"

Pertanyaan itu menginterupsi Qiya untuk kembali berdiri menghadap bu Sari. Sekarang mukanya makin jutek tapi sialnya cantik banget guru muda satu ini.

"Kenapa kamu telat?" Tanyanya lagi.

"Macet bu," jawab Qiya dengan suara tenang. Beda sama jantungnya yang berdetak seperti sedang berdisko.

"Boong bu! Rumah si Qiya mah mana ada macet! Lima langkah sampai sekolah!!" Teriak Rendi.

Sialan banget, Qiya mencaci maki Rendi yang sekarang kepalanya sudah terjepit oleh ketiak Irham biar diam. Irham tenang-tenang saja sebenarnya melihat pacarnya yang sedang diintrogerasi di depan kelas. Tapi kalau dikomporin Rendi ia tidak terima.

"Diem nyet!" Desis Irham tepat di telinga Rendi.

"Makanya kalau anak gadis itu bangunnya jangan siang!"

"Anak bujang boleh berarti bu?" Tanya Irham, ia sengaja biar dihukum juga kalau Qiya di hukum.

Bu Sari cantik sih untuk dinikmati selama pelajaran, tapi Irham baru ingat belum ngerjain tugas bu Sari. Ia hanya mempercepat hukuman yang menantinya.

"Diem kamu! Gak ngerjain tugas kan?!"

Bukan hanya galak, ternyata bu Sari cenayang juga. Pikir Irham. Ia hanya cengengesan sambil mainin pulpen pake kedua tangannya.

"Kamu berdiri di depan kelas Irham!! Kalau tugas itu di kerjain!"

"Siap bu."

Bu Sari mengerutkan dahinya ketika Irham tak kunjung beranjak. Matanya udah tajem banget kaya samuray. Bukannya takut, Irham malah berkata, "nunggu Qiya di kasih hukuman juga, biar keluar kelasnya bareng bu."

"BERDIRI DEPAN KELAS SEKARANG IRHAM!!!"

Mendengar teriakan itu, dengan sigap Irham berlari kecil keluar kelas. Saat melewati Qiya sempat-sempatnya Irham mengedipkan sebelah matanya menggoda Qiya.

Bu Sari yang melihatnya hanya mendengus sebal. Bilang aja bu kalau iri, cepet lepas jomblo makanya. Batin Irham.

"Kamu berdiri di tengah lapang, Zelqiya!"

Kalau gini ceritanya Qiya menyesal tadi pagi sudah berharap jadi guru BK atau guru kesiswaan apalagi jadi kepala sekolah, ia menyesal sudah berharap akan memberi hukuman sejadi-jadinya kepada murid. Sekarang malah ia kena batunya sendiri.

Qiya melepas tasnya lalu di letakan dilantai samping meja guru, dekat kaki bu Sari.

"Nitip bu, berat!" Setelah mengucapkan tiga kata itu, Qiya langsung ngacir keluar kelas.

Bu Sari menghembuskan nafasnya berusaha sabar. Kadang ia merasa lebih kesal daripada ini kepada Qiya, jadi sekarang harus bisa sabar.

Anak kelas yang lain tertawa melihat tingkah Qiya. Pasangan itu selalu saja buat mereka tertawa karena tingkahnya. Guru-guru juga sudah tidak aneh dengan kelakuan mereka ketika belajar. Belum aja guru-guru lihat pasangan itu lagi berantem di kelas. Rasa ingin melenyapkan mereka pasti lebih meningkat.

Qiya jalan cuek melewati Irham, tapi tangannya si tahan, "apa?"

"Mau kemana lo?"

"Gue di hukumnya di tengah lapang! Awas ahh" Qiya melepas paksa cekalan tangan Irham dipergelangannya.

"Lohh?? Panas kali."

"Ya gimana? Gak papa lah matahari pagi sehat."

Qiya jalan meninggalkan Irham, lalu ia mendengar Irham berteriak "MADEP SINI QIY BERDIRINYA."

Qiya merutuki suara Irham yang nyaring banget. Kelas sebelah sampai nengok ke keluar jendela melihat Qiya.

Me And SeniorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang