Marah

4.5K 369 16
                                    

Jangan lupa vote ya

Happy reading









Aku duduk di ruang BK dengan Ziena di pangkuan ku. Setelah kurang lebih 2 menit menunggu, seorang pria berpakaian rapi khas seorang guru memasuki ruangan itu. Aku sama sekali tidak bersikap ramah, mengingat sifatnya yang tidak peduli dengan murid membuat ku lupa sopan santun.

Ck, wajahnya tampan sih, berkumis tipis, tinggi tapi tidak setinggi Daren. Kenapa juga harus membandingkan dengan pria itu?

Sepertinya guru ini masih muda tapi hebat sudah menggunakan pakaian khas PNS. Keren juga.

"Dengan orang tuan Yani?" tanyanya, aku mengangguk tanpa ekspresi. Saat ia duduk tepat di depan ku aku bisa mencium parfum khas seorang pria.

"Saya Fahrenheit Singgih buk," dia mengulurkan tangannya, aku menerimanya. "Biasa dipanggil Pak Fahri" lanjutnya. Aku ingin sekali tertawa saat dia menyebutkan nama panggilannya. Kenapa juga harus Fahrenheit? Kenapa tidak Celcius Singgih?

Fahrenheit tapi dipanggil Fahri, kenapa tidak Pare?

"Saya Agnes, biasan dipanggil Irene" ujar ku iseng. Fahri, a.k.a wali kelas Ziena tersenyum ke arah ku.

"Ibu ini orangtua at–"

"Saya kakak sepupunya" potong ku cepat. Katakan lah aku tidak sopan, sudah ku katakan aku lupa sopan santun jika berhadapan dengan orang yang aku benci.

"Baik bu Irene, ada perlu apa sehingga datang ke sekolah ?"

Aku mati-matian menahan tawa ku saat dia memanggil ku Irene, kenalin nih Visual grup hahaha.

"Saya cuman mau protes aja pak, kata Yani sekolah lagi mengadakan perlombaan tapi kenapa dia sama sekali tidak ikut lomba dari kelas. Dia hanya ikut nari persembahan dari ekskulnya saja." Ujar ku to the point.

"Oh kalau masalah itu yang menentukan siapa-siapa saja yang ikut dalam lomba adalah mereka sendiri, Bu Irene" aku berdecak kesal. Banyak yang bilang guru selalu benar dan apabila guru salah ingatlah yang pertama tadi.

"Ya walaupun begitu seharusnya sebagai wali kelas, bapak harusnya memeriksa kembali pak. Seharusnya setiap siswa harus terlibat kecuali jika memang siswa itu tidak menginginkannya" protes ku, Fahri tampak terdiam lalu menatap ku dan Ziena bergantian.

"Maafkan atas kelalaian saya Bu, kalau begitu saya ijin sebentar untuk memanggil Yani" ujarnya dengan senyuman yang tampak canggung

Mampus.

"Tidak usah pak, lagian PORSENI nya tinggal besok 'kan. Untuk apa lagi" dia menatap ku dengan tatapan tak percaya, sepertinya dia sangat kesal terbukti dari helaan nafas dan matanya yang memandang ke arah ku.

Banyak yang bilang kalau aku itu suka sekali mengurusi hidup orang lain. Aku tidak menyangkal hal itu, bagiku sejauh yang kulakukan demi kebaikan dan aku sanggup kenapa tidak. Termasuk dalam hal ini, sebenarnya ini tidak perlu di proses lanjuti seperti ini, tetapi saat melihat raut wajah Yani sewaktu dia menceritakan keluhannya membuat ku tak bisa menahan diri.

"Jadi untuk apa ibu protes?"

"Saya cuman mengingatkan aja kali, biar tahun depan ga terulang. Saya juga sekalian mau bilang kalau Ziena eh Yani sering di-bully sama teman-temannya, dia sering ngadu kesaya. Cuman karena dia miskin dan sering nunggak tagihan-tagihan seperti uang hari guru, uang Hari pangan, entahlah uang apa aja, temannya langsung membully. Ditambah lagi karena masalah perbedaan agama dan kepercayaan, saya hanya mau bapak sebagai guru menindak lanjuti masalah ini Pak. Bapak hanya perlu memperingati anak-anak bapak agar tidak melakukan hal yang bisa merusak mental temannya" ujar ku panjang. Pak Fahri tampak menganggukkan kepalanya, kemudian ia menghela nafasnya.

UNEXPECTED [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang