Ketua geng yang terkenal berandal tapi sering ikut lomba olim.
Aksa Deovangga, pemuda berdarah Jerman-Indonesia. Sifatnya yang dingin banget kayak balok es di kutub utara, kaku banget kayak kanebo kering, di tambah ketus dan irit ngomong yang bikin...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tit...tit...tit... Ruangan itu masih terasa sama sejak beberapa hari yang lalu, menunggu dan menunggu sesuatu yang selalu dinanti. Tidak ada yang dapat memisahkan, kecuali jika memang takdir Tuhan.
Gadis berpakaian serba putih khas rumah sakit itu membuka matanya secara perlahan, menyipitkan kedua mata saat melihat langit-langit kamar dihadapannya terasa asing. Menelisik seisi ruangan dengan tatapan bingung. Lalu pandangannya turun ke bawah, menatap seorang pemuda berkaos hitam yang tengah tertidur pulas sambil memegang tangannya.
Shakilla yang melihat hal tersebut sontak menutup mulut, menahan tangis saat di hadapannya benar-benar sosok laki-laki yang ia rindukan selama ini. Sesaat kemudian, ia mengelus pelan surai rambut pemuda tersebut, semakin terisak kuat karena tidak dapat dipungkiri ia merasa lega dan bahagia.
Suara tangis itu membangunkan sosok Aksa yang tengah tertidur pulas, ikut tersentak kaget hingga reflek membuka lebar matanya saat melihat sosok yang ia tunggu-tunggu sudah tersadar dengan air mata yang mengalir. Ia jadi menutup mulutnya karena bingung harus bereaksi bagaimana.
"Hey." akhirnya yang pertama Aksa lakukan adalah memeluk gadis itu ke dalam dekapannya. Dipeluknya dengan erat seolah takut kehilangan. "Jangan nangis..."
Suara berat itu, suara serak itu, suara yang selalu mampu membuat jantungnya berdegub kencang. Shakilla meremas ujung baju Aksa, masih dengan terisak pelan ia memejamkan matanya. Menumpahkan segala kerinduan yang sudah mengganggu ketenangan hidupnya selama beberapa saat.
"Why? Kenapa nangis hm?" Aksa melepaskan pelukan mereka. Merapihkan rambut gadisnya yang terlihat berantakan.
Bahu Shakilla yang naik turun menandakan gadis itu masih terisak. Ia menggenggam tangan Aksa dengan erat, menatap sang empu dengan kedua mata yang berair. "Jangan pergi, tolong jangan pergi, Sa." ucapnya disela isakan. "A-aku takut..."
Aksa menautkan kedua alisnya, lalu tersenyum manis sambil kembali memeluk gadis itu. "Nggak akan, aku nggak pergi kemana-mana Killa." sahutnya menenangkan.
"Hana? Kamu nggak pergi sama cewek nyebelin itu kan? Iyakan?" tanya Shakilla mendongak. Menatap pemuda tersebut dengan intens menunggu jawaban.
Aksa yang mendengar jadi melihat dengan tatapan bingung. "Hana siapa?" ujarnya semakin heran. Terus mengelus puncuk kepala gadisnya dengan sayang. "Kamu itu baru bangun dari koma, stop ngebuat aku bingung dan khawatir. Ngeliat kamu udah sadar aja masih buat aku nggak bisa berfikir jernih." sahutnya. Memencet bel berwarna merah beberapa kali yang berada disebelah ranjang sang gadis, menunggu kehadiran dokter dan perawat.
"Hah? Aku koma?" tanyanya kaget. "Ngibul kamu." ucap Shakilla. Menusuk-nusuk punggung lebar Aksa dengan iseng, terkekeh kecil saat pemuda itu terlihat kegelian.
"Hm, kamu–"
Brak!
Keduanya mengglonjat kaget, reflek melepas pelukan sambil menoleh ke arah pintu. Raka dan Ajun yang melihat pemandangan tersebut hanya bisa terdiam cengo, mengabaikan bungkusan nasi goreng yang sudah jatuh ke lantai. Lalu detik berikutnya,