Hai sebelumnya maaf ya aku baru sempet up sekarang nih, gapapa kan? Ini udah diusahain banget loh hehe.
Aku lagi berduka, maaf ya kalo part kedepannya nggak bisa up cepet, maaf banget. Jujur aja ini aku up karna udah ada di draft aslinya aku makan aja gaenak, i'm really broken sorry:)
[WARNING:PART INI MELANKOLIS + SAD GASUKA SKIPP]
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"JANGAN!!! JANGAN TEMBAK KAK DELVIN!!" Diana segera berlari untuk melindungi Delvin. Napasnya memburu tak teratur melihat Dafa dengan santainya duduk di sofa sembari menodongkan senjata tajam itu kearah nya.
Delvin yang sekujur tubuh nya sudah penuh dengan luka kini berusaha dengan susah payah memegang tangan Diana. "J-jangan Diana," ujarnya dengan napas terputus-putus. Darah mengalir dari pelipis, lengan, kaki dan sudut bibirnya bahkan kini dia muntah darah.
Dafa menurunkan senjata nya sebentar. Melawan musuh dengan senjata itu cupu. Tapi musuh nya kali ini berbeda, sang inti Mafia. Jelas tak ada apa-apanya jika hanya menggunakan balok kayu.
Diana berbalik menatap Delvin dengan mata berkaca-kaca. "K-kakak kenapa disini?! Dimana para bodyguard kakak? Dimana?? Kenapa bisa kakak kayak gini? Hiks," tanyanya bertubi-tubi.
Delvin menarik napas nya dengan perlahan, rongga dadanya sudah terasa sesak ntah berapa lama dia dikurung di ruangan hampa tanpa udara. Bukan oleh Dafa...
Tapi oleh Darren..
"K–kamu harus tau suatu hal Diana," Delvin melirik Dafa. "Y-yang Dafa lakuin udah benar, d-dia berhak balas dendam atas kematian orang tuanya,"
Diana menggeleng kuat, dia menggengam tangan Delvin. "Nggak!! Sampe kapanpun Diana nggak akan biarin hal itu terjadi, nggak," Diana menatap Delvin dengan tatapan memelas menangis kencang.
"Kak Delvin, nanti siapa yang beliin Diana coklat lagi?! Siapa yang beliin Diana eskrim lagi? Kak Delvin!! Hiks, hiks, nggak...." Diana bahkan memeluk tubuh Delvin erat.
Dafa mengeratkan genggaman di pistol nya. Bayangan bayangan wajah puas Darren yang menghabisi ibunya saat itu terputar kembali di pikirannya. Bagaimana laki-laki psikopat itu tidak punya hati menembak kepala ayahnya.
Dengan cepat Dafa kembali mengarahkan pistol itu ke dua orang kakak beradik itu dengan pikiran yang sudah tidak jernih.
Delvin dengan cepat mengubah posisi dia dengan Diana yang masih memeluknya erat.
DOR!
Diana yang tadinya menangis berhenti. Arga, Vero, Fino, juga Adit yang baru datang ikut terkejut.