Part 3. Memori Daun Pisang 2

624 42 3
                                    

    "Tapi sejujurnya, aku pribadi pun gak mau terjadi hal-hal buruk sama kamu. Jujur... aku takut dan panik banget kamu gak pulang-pulang sampai sesore ini. Ditelepon dan di WA pun gak bisa. Aku stress. Aku khawatir. Aku takut kehilangan kamu."

      W H A T ?
      Apa ini? Apa maksudnya ini? Gue gak salah denger kan? Gak perlu dikorek kan kuping gue?

      Jasmine tercekat, melongo dengan berjuta rasa yang mengguncang. Manik matanya membola dengan mulutnya pun sedikit terbuka, tanda ia speechless dengan apa yang baru saja didengarnya. Seketika, hatinya jumpalitan. Tanpa sadar, tatapnya menghujani paras Adam, meyakinkan apa yang didengarnya itu tak salah.

      Jasmine menghela nafas, lalu menghembuskannya. Senang, ragu campur kecewa karena tak menemukan kebohongan di mata tenang milik Adam. Tak tahukah cowok itu jika  kejujuran yang ditemukan di mata hitam itu akan berakibat fatal pada hatinya?

    "Sialan, kenapa lo musti ngomong begitu sih." dengusnya di hati. "Gue kan gak bego-bego amat nafsirin omongan lo. Kalau suka bilang dong, jangan ngambang gitu. Bikin baper gue qja tau."

    "Jangan marah, ya waktu tadi aku menolak kamu pake daun pisang." Ternyata kalimat Adam belum selesai. "Demi Allah, aku takut kamu sakit. Biar aku aja yang sakit."

      Adam berhenti sejenak. Mengatur nafas dan berusaha mengendalikan hatinya yang tak karuan. Ini adalah kalimat panjang yang pernah ia ucapkannya pada seorang perempuan secara personal yang melibatkan perasaannya. Sesuatu hal di luar kebiasaannya. Ia pun heran kenapa bisa mengatakannya.

    "Jangan buat aku khawatir lagi ya?"

      Jasmine membeku di tempat, seolah baru saja kena sihir atau hipnotis.

    "Oh, My God... Apa lagi ini? Tahu gak sih lo, kata-kata lo itu bisa bikin gue gagal paham. Melambung tinggi ke awang-awang, menari di atas pelangi, lalu gubrak ditarik gravitasi. Eneng gak sanggup, Kang." Jasmine memegang dadanya. Mengatur nafas yang terasa tak tenang bersama hatinya yang terus bertalu-talu.  

    "Tenang, Min, tenang... lo gak boleh ge-er. Lo gak bakal siap kalo ini cuma halusinasi aja." Putus hatinya tanpa dapat menetralkan hatinya yang terus dag-dig-dig-der. Tanpa sadar kepalanya pun menggeleng beberapa kali. "Sikap lo terlalu abu-abu, Dam. Maju mundur gak karuan. Gak gentle banget sih lo. Payah!"

    "Suka-suka lo deh!" Akhirnya Jasmine lebih memilih kalimat ketus ini. Ia tak berani mempertaruhkan hatinya jika sikap Adam masih gitu-gitu aja. Bikin emosi aja.

      Ia pun melanjutkan langkahnya. Berjalan ke kiri jalan, seperti tadi yang diarahkan Adam.

      Adam melongo, tak berkata lagi. Matanya meredup. Menatap punggung perempuan cantik itu yang perlahan menjauh. Dengan lunglai, ia pun mengikutinya dari belakang. Ia tahu hatinya kecewa. Kalimat panjang yang tadi diucapkannya hanya ditanggapi biasa-biasa aja oleh Jasmine. Malah lebih terkesan tak peduli, jutek dan marah.  Tak tahukah Jasmine jika ia sudah bicara jujur. Tentang kekhawatiran, tentang tanggung jawab, tentang harapan. Apakah semua itu tak ada artinya buat perempuan itu?

UnDesirable HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang