Part 9. Beri Bunda Mantu

390 43 1
                                    

Lenggang mengorak menarik hati serentak
Hei, hei siapa dia
Wajah sembunyi di balik payung fantasi
Hei, hei siapa dia

      Kira-kira demikianlah lirik sebait lagu lawas berjudul Payung Fantasi ciptaan Ismail Marzuki yang dinyanyikan Garland dalam hati dengan riang gembira. Tadi lagu itu didengarnya di radio mobilnya dalam berbagai versi. Ada versi asli lewat suara almarhum Bing Slamet. Juga versi ulangnya dari suara penyanyi Shelomita, Hendri Rotinsulu dan si cantik Tatjana Saphira. Entah lagu itu merupakan lagu favorit sang penyiar radio, entah penyiarnya sedang kasmaran. Yang jelas lagu itu diputar berulang kali hingga tanpa sadar telinga Garland menjadi akrab dan sedikit hapal dengan nada dan lirik lagu itu.

      Lihatlah, sepertinya lelaki tampan itu pun ikut menyukai lagu itu. Dia mengekspresikannya lewat nada siulan, berkolaborasi dengan hatinya yang menyanyikan lirik lagunya. Apalagi dirasakannya lagu itu bisa 'dipas-paskan' dengan kejadian yang baru dialaminya di tempat dagang Mang Soleh tadi.

    "Hei, hei, siapa Mimin...." Secara spontan Garland mengganti lirik kata 'dia' di lagu itu dengan nama adik cantik yang ditemuinya tadi. Kedua sudut bibirnya pun tertarik ke atas membentuk senyuman.

    "Aduh, aduh... Anak Bunda yang paling ganteng, lagi happy ya sampe masuk rumah aja lupa ngucapin salam."

      Belum sampai menginjak undakan tangga kedua, langkah Garland terhenti. Tampak wanita cantik matang muncul dari arah lebih dalam rumah. Ia pun langsung berbalik arah. Melangkah mendekati sang ibunda tersayang.

    "Assalamualaikum, Bunda." Garland meraih tangan Bunda Inggrid. Mencium punggung tangan Bunda dengan takzim. "Tadi Alan beberapa kali ngucapin salam. Eh, gak ada yang jawab."

    "Masa?"

    "Iya, masa Alan boong sih," jawab Garland "Emang Bunda ke mana?"

    "Ada kok. Ini baru dari taman belakang. Ngurus tanaman. Takut ada yang mati."

    "Disiram?" Garland mengeryitkan dahinya. "Ngapain disiram lagi, Bun? Kan barusan hujan gede."

    "Ya enggaklah, bisa busuk dong kalo disiram lagi. Cuma buang-buangin daun-daun yang udah layu aja." Bunda Inggrid menepuk pelan tangan putra sulungnya. "Tumben pulang cepat, Mas."

    "Sengaja, Bun." Garland tak jadi naik tangga. Ia malah menjatuhkan bokongnya di sofa dekat tangga. Bunda Inggrid ikut duduk di sebelahnya. Ruangan keluarga ini tampak besar dan megah. Warna putih di dindingnya menambah efek luas pada hunian bergaya Eropa itu. Sementara furniture berkelas yang ada menambah kesan mewah. Pun lampu-lampu kristal yang menggantung di langit-langit dan lukisan mahal dari pelukis terkenal. "Pengen dinginin otak. Stres banget dari pagi ngurusin kerjaan di kantor."

    "Stres? Masa sih?" Kali ini giliran Bunda Inggrid yang mengeryitkan dahinya. Matanya pun menelisik tajam wajah Garland. "Kok kayak yang gak stres sih? Bunda denger kok tadi kamu siul-siul, nyanyi-nyanyi sama senyum-senyum sendiri juga."

      Garland tertawa kecil. Bunda Inggrid tambah penasaran.

    "Lagi happy kan, bukannya stres?"

    "Iyalah. Kata Bunda kan kita musti happy biar sehat lahir batin."

    "Ketemu cewek cakep ya tadi?" Bunda Inggrid masih mengejar, melirikkan matanya dengan seringai menggoda. "Cieee yang ketemu jodoh."

      Sekali lagi Garland menjawabnya dengan tawa misterius. Tentu saja Bunda Inggrid jadi gemas.

    "Mas...." Bunda Inggrid merajuk. Beliau memang biasa memanggil anaknya dengan panggilan 'Mas atau Mas Alan', sebagai bentuk pembiasaan agar Gladys, puteri bungsunya, memanggil begitu pada kakak laki-lakinya. "Kenalin dong pacarnya ke Bunda. Masa Bunda gak boleh tau calon mantunya sih."

UnDesirable HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang