Part 8. Obat Otak Ngebul

359 40 2
                                    

    "Tapi kok...." Kening Garland mengeryit lebih berlipat seiring tangannya yang urung membuka pintu mobil.

      Tampak Mang Soleh memberikan dua gelas bajigur berikut dua kantung plastik bening berisi kudapan jualannya pada dua lelaki kekar itu. Sepertinya atas permintaan si gadis cantik.

     "Aneh. Apa mereka sebenarnya saling kenal? Atau... Hhmm,"  Garland masih terus berpikir, menerka-nerka. Matanya tak lepas menatap empat sosok yang berteduh di emperan toko itu. "Apa itu cara dia mencegah kejahatan dengan kebaikan?"

      Dari gerak mimik bibirnya, Garland melihat ucapan terima kasih yang disampaikan dua lelaki kekar itu dan dibalas senyum dan anggukan kepala oleh gadis itu.

      "Tapi masa sih, mereka mengurungkan niat jahatnya hanya karena disogok bajigur?"

      Garland menggelengkan kepala. Cepat dihabiskannya bajigur beserta kudapan yang tersisa. Hatinya tak tenang. Khawatir lelaki sangar itu akan berbuat jahat pada gadis itu. Ia jadi membayangkan bagaimana jika hal tersebut menimpa pada adik perempuannya, Gladys. Tentu akan susah hatinya.

    "Gue gak bisa diam aja ini." Garland pun langsung turun dari mobil. Ia tak mau menyesal di kemudian hari karena membiarkan kejahatan terjadi di depan matanya sendiri.

    "Ya Alloh, Den, padahal mah teu kedah turun. Wios Amang we nu nyandak gelasna mah. Hawatos kahujanan." Mang Soleh menyambutnya dalam kalimat bahasa Sunda.
(Ya, Alloh, Den, padahal sih gak usah turun. Biar aja Amang yang ngambil gelasnya. Kasihan kehujanan).

      Setelah berbalas kata dengan Mang Soleh yang mengkhawatirkannya menembus hujan, Garland pun membaca situasi. Ia tak boleh gegabah. Niat baiknya jangan sampai terbaca oleh kedua lelaki itu yang dikhawatirkan akan menjadi boomerang yang membahayakan gadis itu dan dirinya sendiri.

    "Harus main halus. Main cantik." Demikian pikirnya.

      Dengan kemampuan komunikasinya yang baik, akhirnya ia bisa mengobrol dengan gadis itu, walaupun pada awalnya tak dipedulikan sama sekali. Malah diberi muka masam, tatapan sebal dan kesal penuh curiga. Wajarlah, mereka kan baru ketemu. Bukan mustahil jika gadis itu berpikir ia adalah Om-Om genit yang bermaksud tak baik dan suka daun muda. Hahaha.

    "Saya sudah lulus SMA enam tahun lalu, Om."

      Dari jawaban pertama gadis inilah awal kepercayaan itu terjalin. Ketika ia membelalakan mata karena tak percaya gadis secantik dan seimut itu ternyata sudah wisuda S1 dua tahun yang lalu, bukan anak SMA seperti yang perkiraannya. Amazing. Benar-benar awet muda. Gladys yang seumuran dengan gadis itu pun wajahnya tak seimut ini. Apa mungkin karena Gladys sudah memiliki dua anak hasil nikah mudanya dengan Gustav, sehingga wajah adiknya itu terlihat lebih dewasa?

      Seiring dengan itu, Garland jadi merasa ia pun berwajah boros. Pasalnya, gadis itu selalu memanggilnya 'Om' dan menertawakan dirinya yang dinilai kepedean dan terkesan tak terima saat disebut 'tua'. Hahaha.

    "Masa sih? Beneran setua itu? Padahal saya sering disangka mahasiswa lho kalo lagi pake baju santai."

    "Dih, sombong." cebik gadis itu. "Pede amat sih, Om."

      Tentu saja Garland jadi tergelak. Dibiarkannya gadis itu menatap tajam padanya. Memindainya. Biar aja, biar dia sadar kalo si Om-Om yang dipanggilnya ini tak seboros itu wajahnya. Ia yakin penampakannya sebagai lelaki cukup sedap dipandang mata, hingga bisa mengubah kejahilan gadis itu menjadi kekagumam. Hahaha... Kenapa jadi semenyenangkan ini ya mengimbangi kejahilan adik cantik itu?

    "Astagrifulloh..."

      Lha, kok dia malah beristigfar sih? Heran! Masak sekaget dan semenyesal itu setelah memindainya? Eh... tidak ternyata. Tuh, dia malah senyum-senyum sendiri. Tapi kok tatapannya kosong gitu sih? Melamun ini mah. Mikirin apaan sih?

    "Dek, saya jadi takut ini." Tiba tiba terbersit di pikiran Garland untuk menggoda gadis itu. Ia pun langsung memasang ekspresi wajah serius, cemas campur ketakutan.

    "Tadi Adek tiba-tiba istigfar, sekarang senyum-senyum sendiri. Sehat kan, Dek? Gak lagi kerasukan kan?" lanjutnya dibalas tawa ngakak gadis cantik itu.

    "Om lucu banget."

    "Sumpah, kamu cantik banget kalo lagi ketawa gitu lho, Dek." Mau tak mau, Garland harus mengakui pesona yang dimiliki gadis itu. Hatinya menghangat begitu saja. Dan Garland tak ingin cepat-cepat kehilangan tawa menarik itu. Ia merasa sangat terhibur. Rasa suntuk yang tadi dibawanya dari kantor seolah menguap begitu saja. Ajaib, kan?

    "Nah... Nah... Nah kan tambah jadi. Apa perlu saya ruqiyah?"

      Bukannya menghentikan tawa, gadis itu malah bersikap lebih konyol. Apa dia menyadari sedang dijahili? Dan sekarang sedang mengimbangi candanya? Luar biasa.

    "Saha maneh? Sima aing, sima maung. Saha maneh?! Aing hayang hayam hideung. Om hideung, ulah bodas. Huahhhh hahaha.... sima aing, sima maung. Saha maneh?"
(Siapa kamu? Kekuatan/wibawa/power saya, kekuatan harimau. Siapa kamu? Saya mau ayam hitam. Om hitam, jangan putih. Hahahaha.... Power saya, power harimau. Siapa kamu?)

      Tuh kan, sekonyol ini gadis itu meladeni candaannya. Bertingkah seperti orang yang kesurupan. Dasar ya, bocah nakal.

    "Saya sembur pake bajigur ya biar waras lagi? Biar ke luar jin jahatnya."

    "H A A H H H ????"

      Dan kalimatnya itu ampuh membuat mata gadis itu terbelalak cantik, sekaligus menghentikan tingkah konyolnya. Wajahnya pun berubah jadi ketus penuh protes,  tawa Garland pun pecah setelahnya. Puas berhasil meng-skakmat adik cantik itu. Hahaha... Orang tua dilawan.

    "Udah ah, Om, gak lucu."

      Gadis itu mengerucutkan mulutnya. Ekspresi judes di wajahnya yang malah terlihat cute di mata Garland. Ditambah lagi rona merah di wajah putihnya. Ia tebak, gadis itu malu hati setelah menyadari tingkah konyolnya. Tapi sungguh, kok jadi terlihat cantik banget ya? Bikin gemas. Apalagi saat mendelik tajam padanya dan berubah menjadi tatapan waspada. Apa ia mulai curiga padanya sebagai orang tak baik?

    "Hohoho, kamu salah besar jika berpikiran seperti itu. Adik kecil. Justru saya ingin melindungi kamu dari niat jahat dua lelaki itu." Ucapnya di hati sambil melirik dua lelaki kekar itu.

      Entah perasaannya saja, entah kewaspadaannya yang mulai menurun atau entah tadi dia yang terlalu suudzon. Yang jelas saat ini ia merasa dua lelaki itu bukan ancaman serius lagi. Mereka terlihat pecah fokus. Ponsel lebih menarik perhatian dua lelaki kekar itu ketimbang gadis cantik di sebelahnya ini. Syukurlah.

    Jadi ia pun tenang saat pamit meninggalkan gadis yang mengaku-ngaku bernama 'Mimin' itu. Tentu saja Garland tak percaya itu nama asli gadis itu. Rasanya tak cocok saja gadis secantik itu bernama Mimin.

    "Maaf ya, Om. Kata Mami, saya gak boleh sembarangan ngasih tau nama sama orang yang baru dikenal." dalih gadis itu dengan senyum candanya. "Apalagi ngasih tau alamat dan nomor HP. Bahaya. Bahaya. Entar diculik. Hehehe."

      Tapi sudahlah, tanpa tahu nama aslinya pun, Garland sudah sangat senang bertemu dengan gadis itu. Ia anggap ini adalah berkah turunnya hujan.  Kehadiran gadis itu berhasil menghibur hatinya dan menbuatnya rileks. Berasa obat mujarab yang mengobati otaknya yang hampir ngebul di kantor tadi.

      Lagipula akan aneh kan jika ia memaksa gadis itu menyebutkan nama aslinya. Bisa-bisa ia benar-benar dicurigai sebagai orang jahat.

      Sejujurnya, ia memuji sikap gadis itu yang tak mudah memberikan informasi pribadinya pada orang yang baru dikenalnya. Pun menolak ajakannya untuk pulang bareng. Memang seharusnya begitu kan sikap perempuan baik-baik? Jangan mudah percaya pada orang lain. Apalagi gampang diajak jalan.

      Good job, Girl!

***
Bersambung
18082021, 17.15 WIB

UnDesirable HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang