Part 41: Garland's PoV : Make Me Yours

363 44 4
                                    

Halooo... Ketemu lagi sama Garland & Jasmine. Maaf lama update. Tapi lebih 2000 kata aku ketik untuk mereka di part ini. Semoga tetap suka, ya. Tengkyu
****

Ini kali keempat aku pulang ke apartemen. Menghabiskan malam-malam sepi yang tak menyenangkan. Tapi untuk apa juga aku pulang ke rumah, jika di rumah pun akan sepi dan sendiri pula.

"Assalamualaikum, Mas, aku nginep di rumah Mami, ya. Aku bukan kabur lho. Ini aku bilang, izin. Mas sih pulangnya ke apartemen mulu. Aku mau nemenin juga gak boleh. Males musti di rumah sendiri terus. Malesin juga punya suami yang doyan ngambek gak jelas. Childish. Bete.
Sesekali cek rumah, ya. Soalnya aku gak bakalan kembali ke rumah kalo Mas gak jemput aku. Dan ini aku terakhir kirim pesan. Seterusnya aku gak mau menghubungi Mas lagi. Males dicuekin mulu. Kayaknya Mas emang pengen kita hidup sendiri-sendiri.
Oke, fix aku jabanin.
Oya, aku bilang ke Mami Papi alasan nginepnya karena Mas lagi tugas kerja ke luar kota. Jadi kalo Mas 'masih mau' jemput aku, cocokin ya alasannya. Aku gak mau mereka curiga yang enggak-enggak soal kita.
Itu aja. Bye! Wassalam."

Demikian pesan WhatsApp yang dikirim Jasmine kemarin pagi. Dan saat ku cek di rekaman cctv yang tersambung ke ponselku, ternyata istriku itu benar-benar meninggalkan rumah, bukan gertak belaka. Rumah pun jadi benar-benar sepi. Sosoknya tak dapat lagi kupindai dari rekaman cctv. Padahal sumpah, dengan melihat segala aktifitasnya di rumah lewat cctv itu, kerinduanku yang menggunung sedikit terobati. Pun dengan pesan-pesan WA-nya yang selalu kubaca antusias, namun sialnya selalu sengaja kuabaikan balasannya. Fuufhh... Aku pun kehilangan moodbooster-ku. Berasa jadi mayat hidup.

"Sial, sial, sial! Gue juga sih yang cari penyakit." Aku menepuk-nepuk jidatku beberapa kali. Sungguh, menahan rindu itu ternyata sangat menyiksa. Sebelas-dua belas dengan hati yang terbelenggu cemburu.

Seharusnya aku tak ngeyel dan kepala batu seperti ini. Apa susahnya mengembalikan kewarasanku kembali. Bukan bertahan dengan segala pikiran buruk dan ego tak jelas. Atau sebenarnya aku sedang cari perhatian, merajuk ngambek berharap dikejar dan dirayu istriku? Ah, benar...ternyata aku sekekanakan itu. Fuffhhh!

"Hhuuuhhhhh..." Aku menghembuskan nafas panjang. Dada ini terasa sesak. Mataku pun sulit sekali dipejamkan. Padahal malam sudah sangat tua. Lebih dari pukul satu dini hari. Demikian yang dikabarkan jam di dinding seberang ranjang besarku ini.

Tadi siang, Nadine datang ke kantorku. Sahabat istriku itu memaksa menerobos masuk ruanganku, walaupun sudah dilarang Regina, sekretarisku.

"Maaf, Pak, Nona ini memaksa ingin bertemu Bapak. Sudah saya larang pun tetap memaksa. Saya...."

"Gak papa, Reg, persilakan masuk, dia sahabat istri saya." Kupotong kalimat Regina yang tampak cemas, agar dia tak terlalu merasa bersalah. Aku ingin tahu, sepenting apa keperluannya sampai sengotot itu ingin bertemu denganku. "Kamu bisa kembali lagi bekerja." lanjutku yang dibalas anggukan lega sang sekretaris.

"Baik, Pak, terima kasih." Regina pun berlalu dan menutup pintu ruanganku.

"Ya, ada apa, Nadine?"

Nadine lebih mendekat ke arahku. Lalu menyimpan sebuah flashdisk di meja kerjaku. Tentu saja aku mengeryitkan dahi, tak mengerti karena Nadine tak mengucapkan sepatah kata pun.

"Apa ini?" tanyaku langsung sambil menatap gadis manis berkerudung warna mocca tersebut.

"Saya harap, Mas tonton isi flashdish itu. Semoga setelah menonton flashdish itu, semua prasangka buruk Mas pada Jasmine segera hilang," jawab Nadine dengan tatapan serius padaku.

UnDesirable HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang