Part 58 : Revalina's PoV: Menjamu Mantan

202 20 1
                                    

   
 

  "Gimana? Suka gak?"

      Sepasang suami istri yang ada di hadapanku tampak mulai mencicipi hidangan salmon dan daging rusa yang kuracik dengan bumbu-bumbu spesial.  Raut wajah mereka kutatap dengan seksama. Entah mengapa, aku tak sabar menanti tanggapan mereka hingga dadaku deg-degan tak karuan.

    "Puorquoi ton visage est-il si tendu, cherie?" Kalimat Roland  dalam bahasa Perancis mengalihkan pandanganku. Ada senyum hangat namun geli di sudut bibirnya. "C'est comme etre devant un jury de cuisine."
(Kenapa wajahmu tegang begitu, sayang?)
(Kayak lagi di depan juri masak aja)

    "Hehehe...." Aku meringis canggung. Tuh, kan, Roland pun menyadari apa yang kurasa.  "Kelihatan banget ya?"

     "Hhmm." Roland mengangguk dengan tatapan hangat. Tangan besarnya mengelus pelan rambutku, sebelum ia menggenggam satu tanganku. "Oalah, sampai dingin begini tanganmu saking tegangnya," lanjutnya diakhiri gelak kecil.

      "Yeee... enggak gitu jugalah," elakku menyembunyikan keteganganku. "Dingin kan wajar. Orang kita lagi ada di daerah Arctik yang suhunya minus begini,"

      Padahal dalam hati aku mengakui kebenaran kalimatnya. Ya, aku memang tegang, deg-degan. Rasanya sama seperti saat menunggu komentar juri atas penilaian masakan yang kubuat di kompetisi memasak beberapa tahun lalu.

       "Iya, iya deh." Roland mengalah namun kekehnya terdengar kembali. Pasti karena mendengar jawabanku yang terkesan sangat dipaksakan. Arctik memang dingin. Tapi tidak di dalam restoran ini. Pengelola restoran ini selalu mengaktifkan penghangat ruangan demi kenyamanan para pengunjungnya.

    "Masakanmu sudah sempurna, sayang," Roland meyakinkanku. Kali ini tanpa kekeh, tapi dengan suara lembut. Dia memang mendampingiku saat memasak, bahkan mencicipi dan menilai dahulu hidangan tersebut sebelum kusajikan pada mereka. "Tenang saja, semua orang pasti menyukai masakanmu, termasuk mereka. Kamu kan chef yang handal. Aku malah heran, chef handal sekelas kamu bisa tak percaya diri begini," lanjutnya sambil mengelus rambutku. "Gak kamu banget deh."

      Aku menatap lekat Roland. Seulas senyum kaku berhasil kurubah menjadi lembut dan manis. Kami terlihat seperti pasangan bucin dan romantis lewat balasan sikapku ini. Sejujurnya, lewat sorot mataku, aku ingin menyampaikan rasa terima kasihku atas kalimat penghiburannya yang berhasil menenangkanku.

       Roland memang sosok yang romantis dan penuh perhatian. Banyak kaum Hawa klepek-klepek dan memberi perhatian lebih padanya, hingga dia pun sempat khilaf membalas perhatian lebih dari salah satu dari fans-nya dan membuat hubungan kami hampir di ujung tanduk jika tak terikat kontrak iklan ekslusif.

    "Mereka orang-orang baik. Saat kami dipertemukan kembali dengan jalan tak terduga seperti ini, aku bahagia banget. So, wajar dong kalau aku ingin memberikan sesuatu yang spesial dan berkesan buat mereka," Aku berusaha menjelaskan kenapa aku bersikap begini dalam bahasa Perancis yang artinya kira-kira begitu.

    "Oh, begitu."

    "Karena keahlianku cuma memasak... ya udah aku bikin masakan aja."

    "Oke."

    "Jadi kalau masakanku kali ini tak memuaskan lidah mereka, tentu saja aku kecewa. Gagal dong misiku."

    "Kamu terlalu baik, sayang."

     "No! Bukan aku yang baik,  tapi mereka."

      Aku menghela nafas dan menghembuskannya perlahan. Menatap sekeliling sejenak. Ada beberapa tamu restoran mengisi meja dan kursi. Tampak tenang menikmati hidangan yang tersaji. Ada pula yang asik mengobrol. Bahkan seorang ibu bule muda tampak sedang membujuk anaknya yang sulit makan.

UnDesirable HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang