Part 12. Pilihan Garland

412 42 7
                                    

    "Bener nih Ayah Bunda udah mempertimbang masak-masak jodohin Alan sama Aura?"

    "Kok nanya gitu sih?" Bukannya menjawab, Bunda malah balik bertanya dengan nada tak suka.

    "Gak kasihan sama Aura?" Garland balik bertanya lagi, membuat Bunda mengeryit tak mengerti. "Aura masih muda lho, Bun. Sementara Alan udah tua. Kasihan kan dia bersuamikan Alan. Entar dikatain nikah sama Om-Om. Mending kalo cuma malu. Kalo stres gimana?"

    "Tapi dia jodoh terbaik buat kamu, Mas." Bunda bersikukuh. Heran, kenapa Bunda bisa seyakin itu. "Lagian tampang Mas gak kayak Om-Om kok. Ganteng, gagah, awet muda pula. Bukannya masih banyak yang ngira Mas itu masih mahasiswa?"

    "Mahasiswa doktoral?" Garland terkekeh karena teringat jawaban ledekan dari Mimin. "Yang rata-rata udah sepuh gitu, Bun?"

    "Kamu ini!" Bunda menepuk punggung tangan anak sulungnya. "Pokoknya kamu siap-siap aja. Sabtu sore kita ke rumahnya Pak Ghifari."

    "Hari sabtu Alan ada janji sama klien dari Singapura, Bun."

    "Alasan." cibir Bunda.

    "Bukan alasan, Bunda Sayang. Jadwal pertemuan kami udah di- schedule sejak bulan lalu. Bunda aja yang dadakan bikin jadwal amprokin kita."

    "Pokoknya Bunda gak mau tau, kamu mesti datang sabtu sore." tegas Bunda Inggrit. "Bunda gak terima penolakan lagi. Iya kan, Yah."

      Ayah mengangguk. Beliau menurunkan koran yang sedang dibacanya. Pun melepas kaca mata bacanya. Wajahnya terlihat serius.
   
    "Tolong ya, Mas... Kali ini jangan menghindar lagi. Dulu Mas menolak karena punya calon. Dan kami mengalah. Sebelum ini pun kami memberikan kesempatan jika Mas mau serius sama Mimin. Tapi Mas bilang gak mungkin bisa karena hanya sekilas mengenal Mimin." Ayah berhenti sejenak. Namun mata beliau tak berhenti memandang Garland. Kalimatnya yang diucapkan beliau cukup tenang, tapi nyatanya bisa membuat Garland tak berkutik.

    "Jadi jika kali ini kami meminta Mas yang mengalah dengan menuruti permintaan kami, apakah itu berlebihan?"

     Garland menunduk dalam. Tak sanggup bersitatap dengan sosok yang jadi panutannya itu. Beliau sosok yang cerdas, penyayang dan bijaksana. Intuisinya sangat tajam. Apalagi untuk kebaikan dan kemajuan anak-anaknya.

      Dulu aja, beliau tak langsung berpikiran negatif saat ia keukeh kuliah di jurusan ilmu komputer, melepaskan jurusan dambaan banyak orang, kedokteran. Ayahlah yang berdiri di garis depan untuk memberi pengertian pada Bunda yang lebih setuju anaknya mengambil kedokteran.

      Pun ketika Gladys yang tiba-tiba ngotot ingin nikah muda dengan Gustav. Bukan karena 'kecelakaan' yang menjadi alasan Gladys dan Gustav ngotot nikah muda, tapi justru mereka ingin menghindari 'kecelakaan sebelum menikah' alias MBA. 

    "Kita berdua bucin abis, Mas," kata Gladys saat itu, saat meminta izin dan dukungan Garland. "Kita takut kebablasan. Makanya kita maksa banget mau nikah supaya terhindar dari dosa besar. Please, maafin gue ya, Mas karena harus ngelangkahin Mas Alan."

      Garland sih tak masalah dilangkah menikah oleh si bungsu. Tapi tidak dengan Bunda. Beliau sempat menentang keras. Selain karena  melangkahi kakak sulungnya, tapi yang lebih utama karena saat itu mereka sama-sama baru masuk kuliah. Harusnya fokus dulu kuliah, kerja, bangun karir, sukses, baru menikah. Begitu yang diinginkan Bunda. Bunda pun khawatir mereka tak berhasil dengan pernikahan mudanya.

     Tapi rupanya Ayah berpikir lain. Beliau justru kagum akan ke-gentle-an Gustav yang lebih memilih jalan halal untuk mencintai puteri bungsunya. Bahkan anak muda itu berhasil meyakinkan Ayah bahwa Gladys tak akan menderita bersamanya. Rupanya sejak SMA Gustav sudah merintis usaha minuman kekinian dan counter pulsa. Ia yakin dari ladang rezekinya itu ia bisa menghidupi istri dan anaknya kelak, walaupun belum bisa mewah. Hebatnya lagi, Gustav menolak fasilitas dari orangtuanya.

UnDesirable HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang