Part 50 : Garland's PoV: Tidak Gagal

317 39 4
                                    

Hai... Week end-an bareng JaGa siap gak nih?
Yang udah siap... Cusss scroll ke bawah ya. Selamat membaca.
****

"Dek!" Mataku langsung berbinar saat menangkap bayangan sosok Jasmine. Meskipun dari kejauhan dan penampilan istriku agak berbeda, tapi sebagai suami aku yakin sekali wanita cantik bermantel coklat muda dengan kerudung warna senada yang membalut kepalanya itu adalah Aurora Jasmine Sabrina, istriku yang sangat kurindukan.

"Sayang!" teriakku sumringah dengan senyum mengembang. "Say... yang...." Suaraku perlahan mengambang, melemah. Begitu pula senyumku, saat kulihat senyum lebar Jasmine. Lho?

Ya... Bagaimana aku tidak patah jika kudapati senyum itu bukan untukku. Tapi ditujukan pada seorang pemuda tinggi tampan yang berdiri berhadapan dengannya. Entah apa yang dikatakan pemuda itu hingga Jasmine tampak tergelak.

Mataku memicing. Menatap lekat sosok pemuda berparas melayu itu, hingga deru di dadaku berpacu lebih cepat.
Terkejut? Jelas.
Kecewa? Pasti.
Marah? Hhmm, aku mencoba menguasai diri, tak ingin dikuasai perasaan satu ini. Yang jelas aku merasa gagal. Maksud hati memberi kejutan dengan kedatanganku yang lebih cepat dari jadwal, apa daya justru aku yang dibuat terkejut lebih dahulu olehnya. Luar biasa.

"Siapa dia? Apakah teman kuliahnya yang bernama Satriaga itu?" batinku penasaran. "Tapi kan tadi Mami Mel dan Bunda bilang kalau Jasmine pergi kajian sama Kakang Anggara. Tapi kok ini...."

Aku menarik nafas, lalu menghembuskannya. Suhu di Berlin ini sedang rendah, sehingga hembusan nafas yang ke luar dari mulut kita terlihat seperti kepulan uap panas. Tanganku tanpa terasa mengepal. Salahku tak menanyakan siapa Satriaga itu saat kemarin VC-an dengan Jasmine. Euforiaku menuntaskan rindu daring dengannya membuatku luput menanyakan hal itu.

Aku menundukan kepala. Berniat kembali saja ke kediaman kerabat Mami Mel yang menjadi tempat tinggal mereka selama di Berlin ini. Sebelum menyusul ke Mesjid Sehiltik ini, mesjid tertua di Berlin, rumah itulah yang menjadi tujuan utamaku setelah mendarat di bandara Berlin tadi pagi.

"Lho, Mas... Beneran ini kamu?" Masih kuingat ekspresi terkejut Mami Mel saat membukakan pintu rumah berlantai dua itu beberapa saat yang lalu. Bunda, Ayah dan Papi pun begitu, yang kemudian disusul ekspresi bahagia dan sambutan hangat.

Bukankah seharusnya aku pun mendapatkan ekspresi seperti itu dari Jasmine? Suaminya tiba-tiba datang lebih cepat tanpa kasih khabar dulu lho. Tapi ini....

Fuihhh... Kuputuskan kembali saja ke rumah. Menunggu di sana sepertinya lebih baik. Selain untuk memulihkan jetlag-ku setelah melewati penerbangan belasan jam, juga untuk menjaga hatiku agar tak ikut jetlag akibat terbakar prasangka dan cemburu. Bukankah tidur adalah istirahat terbaik untuk melepaskan penat? Toh nanti aku bisa bertanya sepuasnya apa dan siap dia padanya?

Sebelum berbalik badan, kusempatkan mencuri pandang lagi pada Jasmine dan si unknown man. Tanpa disangka Jasmine pun sedang mengalihkan pandangan ke arahku. Tring! Pandangan kami pun bertemu. Bahkan mata Jasmine sampai mengerjap lebar. Ada ekspresi terkejut, ragu sekaligus tak percaya di raut wajahnya. Ia pun tampak beberapa kali mengucek mata sekaligus menajamkan pandangan untuk meyakinkan apa yang dilihatnya. Tentu saja aku tak bisa menahan senyum melihatnya. Sumpah, gemas banget melihatnya.

"Sebentar, ya...."

Samar kubaca gerakan bibirnya mengatakan kalimat itu pada si unknown man, sebelum akhirnya perhatianku teralihkan oleh pertanyaan dari seseorang yang menghampiriku. Seorang perempuan bule menanyakan sebuah alamat. Kujawab sebisanya hingga percakapan kecil diantara kami pun terjadi dalam bahasa Jerman. Alhamdulillah, rupanya bahasa Jermanku masih baik kulafalkan. Pun sudut-sudut kota ini masih bisa kuingat baik. Pertanda tak sia-sia aku mengikuti program pertukaran pelajar saat SMA dulu. Yap, program itulah yang membawaku sempat tinggal selama setahum di kota ini.

UnDesirable HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang